Bagikan:

JAKARTA - Penyebab kecelakaan bus Transjakarta yang kerap terjadi belakangan ini masih menjadi misteri. Saat ini BUMD PT Transjakarta menggandeng Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) untuk mengusutnya.

Pada tahap awal audit menyeluruh kecelakaan bus Transjakarta, sejauh ini KNKT menyoroti satu hal yang disorot, yakni faktor manusia (human factor) atau kondisi sopir bus Transjakarta saat mengemudi. Kondisi sopir yang kemungkinan terjadi saat kecelakaan bus mulai dari kelalaian hingga kelelahan.

Soal kondisi sopir ini, Anggota Komisi B DPRD DKI Gilbert Simanjuntak, mengaku mendapat keluhan dari sejumlah sopir Transjakarta bahwa mereka sering kerja melebihi batas waktu (overtime).

Lalu, untuk mengelabui agar tak terhitung overtime, operator bus yang menjadi mitra Transjakarta memindahkan rute kerja sopir dari satu trayek bus ke trayek yang lain.

"Sopir itu mengeluh shift mereka terlalu panjang. Sudah terlalu panjang, kadang mereka dipindah dari satu trek ke trek lain, biar enggak ketahuan dia (sopir) overtime," kata Gilbert kepada wartawan, Selasa, 7 Desember.

Gilbert sempat bertanya kepada para sopir kenapa mereka tidak melapor kepada Transjakarta. Berdasarkan pengakuan sopir, mereka akan mendapat sanksi pemecatan jika ketahuan mengadu.

"Saya tanya, kenapa enggak protes? Mereka jawab 'akan dipotong gaji dan enggak diperpanjang kontrak'," urai Gilbert.

Senada, Ketua Serikat Pekerja Transportasi Jakarta (SPTJ) Jan Oratmangun mengaku bahwa sopir bus Transjakarta memang bekerja dengan waktu lebih dari yang ditentukan (overtime).

Hal inilah yang mengakibatkan sopir sering kelelahan, selain mengendarai bus di dalam trayek dengan jalur sempit dan lurus. Sehingga, beberapa kecelakaan sering tak terhindari.

"Idealnya itu kan kerja 8 jam, tapi fakta yang terjadi di lapangan bahwa ada juga temen-temen pengemudi kita itu yang bekerja melebihi dari 8 jam kerja," kata Jan saat dihubungi, Kamis, 9 Desember.

Salah satu bentuk kerja overtime yang diterima oleh sopir adalah pembagian jadwal sif bekerja yang diubah-ubah. Para operator bus sering memberikan jadwal sopir dengan sistem jumping.

"Misalkan pengemudi hari ini masuk siang, besok langusng jumping masuk pagi lagi. Itu kira-kira yang jadi faktor pemicu kelelahan Pengemudi," ujar dia.

Selain itu, kadang-kadang sopir bus Transjakarta yang sudah selesai menjalankan tugas mengendarai bus sesuai jadwal tetap belum bisa pulang ke rumah. Mereka, kata Jan, harus mampir ke SPBU untuk terlebih dulu melakukan pengisian bahan bakar sebelum bisa memarkirkan bus di depo, lalu pulang ke rumah.

"Kadang, teman-teman pramudi itu selesai menjalankan tugas di koridor, mereka harus mampir ke SPBU untuk melakukan pengisian bahan bakar juga dan antre berjam-jam," ungkap Jan.

Namun, pengakuan sopir yang sering mendapat kerja overtime dibantah oleh Direktur Utama Transjakarta Mochammad Yana Aditya. "Tidak ada (sopir) yang (kerja) lebih dari 8 jam. Sesuai SOP. Tidak ada," tegas Yana.

Sejauh ini, Yana mengaku pihaknya masih menunggu hasil evaluasi internal dan audit dari KNKT untuk mencari tahu penyebab kecelakaan bus Transjakarta untuk selanjutnya dilakukan evaluasi.

"Nanti bakal kita evaluasi. Kita semua menyamakan persepsi di sini. Jangan sampai kita di sini memberikan informasi yang berbeda-beda. Oleh karena itu, kita sama-sama menyamakan persepsi faktor evaluasi. Apakah manusia, armada, ataupun lingkungan yaitu armada jalan," imbuhnya.