JAKARTA - Di tengah banyaknya penolakan wacana hukuman mati koruptor yang digaungkan Jaksa Agung ST Burhanuddin, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus juga tak terlalu yakin wacana itu dapat dan layak direalisasikan.
Lucius pun mempertanyakan, apakah Jaksa Agung berani melawan oligarki yang penuh dengan korupsi dengan menentukan jadi tidaknya hukuman mati bagi para koruptor. Apalagi masih banyak kasus korupsi yang 'mangkrak' di tangan Kejaksaan Agung.
"Kondisi ini didukung fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Komisi III DPR RI terhadap Kejaksaan Agung hanyalah formalitas. Jadi tak mungkin terealisasi wacana hukuman mati koruptor tersebut," kata Lucius, dalam keterangan tertulisnya, Jumat 3 Desember.
Ia menyebut dengan iklim korupsi yang sistematik di Indonesia, membuat gagasan hukuman mati tak akan mudah didukung oleh elit parpol maupun DPR.
"Karena korupsi selalu dekat dengan elit maka tak mungkin mereka merancang hukuman berat bagi diri mereka sendiri," kata dia.
"Saya kira seperti itulah kinerja Komisi III DPR, lebih banyak formalitas saja terhadap kinerja kejaksaan gitu. Saya kira mungkin Komisi III juga punya alasan karena kalau membicarakan kasus-kasus mangkrak itu jangan-jangan mereka juga justru dianggap mengintervensi," katanya lagi.
Menurut Lucius, semestinya DPR bisa mengawasi dari sisi manajemen Kejaksaan, ketika membiarkan sebuah kasus tanpa kejelasan itu mestinya tugas DPR untuk mempertanyakan ke Kejaksaan.
"Jadi saya kira memang tidak banyak yang bisa diharapkan dari Komisi III untuk mendorong Kejaksaan Agung untuk memproses kasus-kasus yang mangkrak itu," ujarnya.
Lucius pun menilai kinerja Kejaksaan Agung tidak maksimal, meskipun dalam kasus tertentu mendapatkan apresiasi karena inisiatifnya untuk menangani korupsi.
"Tapi itu kemudian tidak bisa menutupi banyaknya kinerja Kejaksaan lain yang sampai sekarang itu tidak tuntas," kata Lucius.
Ia mengatakan bahwa hal itu seharusnya menjadi acuan bagi DPR untuk lebih tegas lagi dalam mengawasi kinerja Kejaksaan Agung. Namun, menurutnya DPR yang diisi oleh berbagai kalangan, tentu tak bebas dari kepentingan, sehingga tidak bisa tegas terhadap kinerja Kejaksaan.
"Walaupun kita tahu sendiri juga Komisi III tidak bebas kepentingan sama sekali terhadap kejaksaan. Karena kebanyakan dari mereka adalah pengacara dan lain sebagainya, jadi kemungkinan konflik kepentingan itu yang membuat kemudian fungsi pengawasan Komisi III terhadap kejaksaan juga tidak terlalu bisa tegas seperti yang diharapkan," lanjutnya.
Belakangan Kejaksaan lebih menyoroti kasus Jiwasraya dan Asabri. Menurutnya hal itulah yang seharusnya dilakukan DPR untuk menegur Kejaksaan agar jangan hanya berkutat dengan satu dua kasus saja yang ditangani dan membiarkan kasus lainnya mangkrak. Apalagi kemudian kasus tersebut ditengarai membuat kegaduhan terkait penyitaan asetnya.
"Jadi di situlah mestinya peran pengawasan itu bisa mendorong Kejaksaan Agung untuk bersikap adil terhadap kasus-kasus yang sudah ditangani. Itu saya pikir ketika dia hanya fokus pada satu kasus dan kemudian membiarkan kasus yang lain mangkrak, mungkin kita bisa menilai atau menduga Kejaksaan Agung telah tebang pilih," ujarnya.
Sementara mantan ketua Komisi Kejaksaan, Halius Hosen menyebut tidak mudah bagi seorang jaksa menuntut orang dihukum mati.
"Karena syarat daripada hukuman maksimum itu tidak ada sedikitpun perbuatan yang meringankan. Jadi dia benar-benar tidak ada sedikitpun alasan jaksa untuk mengatakan ada perbuatan yang meringankan," kata dia.
Menurut Halius Hosen yang juga mantan Sesjamwas, itu adalah petunjuk hukum yang harus dijadikan pedoman bagi jaksa agar benar-benar tidak sembarangan menuntut koruptor untuk dihukum mati.
"Jadi bagaimana letak efektifnya hukuman mati itu? Apakah pada hukumannya saja, atau kah pada proses penuntutannya, atau proses eksekusinya? Ini pembicaraan yang nggak bisa sepotong-potong, 'oh jaksa agung melakukan hukuman mati' jangan begitu dong. Jaksa Agung harus punya kajian yangsangat mendalam dan matang serta berkaca pada banyak negara lainnya," lanjutnya.
Banyaknya kasus 'mangkrak' yang berada di tangan Kejaksaan Agung, merupakan pekerjaan rumah dan hutang yang harus menjadi prioritas untuk diselesaikan.
"Karena nasib orang digantung-gantung itu juga nggak boleh. Harus jelas jika statusnya tersangka, dihadapkan meja hijau di pengadilan, langsung putuskan. Kalau sudah bertahun-tahun dia nggak jelas itu namanya nggak bener, artinya tidak bertanggungjawab itu sebagai jaksa sebagai penuntut umum," ujar Halius.
BACA JUGA:
Menurutnya, Jaksa Agung seharusnya membuat skala prioritas kasus-kasus mana yang harus diselesaikan segera. Bahkan, kata dia, Kejaksaan memiliki cukup personil jaksa untuk dibagi-bagi menangani kasus tersebut.
"Ini adalah utang dari Kejaksaan Agung yang harus diselesaikan, karena nasib orang digantung dengan tidak jelasnya bagaimana mereka status kasus hukumnya itu. Apalagi kalau orangnya udah meninggal dunia itu kan sudah harus ditutup itu oleh Kejaksaan Agung, nggak boleh (dilanjutkan atau dibiarkan begitu saja) gitu," kata dia.
Terkait isu dugaan poligami Jaksa Agung ST Burhanuddin yang beberapa waktu belakangan ini sempat gaduh, Halius pun ikut angkat bicara.
"Nah ini kan sebetulnya persoalannya jelas, kalau soal poligami ini kan mengacu pada Undang-undang Perkawinan. Apakah pernikahan Jaksa Agung dengan istri kedua yang katanya jaksa ini sesuai prosedur atau tidak, kan sampai saat ini memang kurang jelas," kata dia.
Menurutnya, sesuai prosedur terdapat beberapa ketentuan yang harus dilakukan, salah satunya adalah mendapatkan izin dari istri pertama.
"Misalnya ada izin dari istri yang tua, kemudian didaftarkan secara sah di Kejaksaan sebagai istri beliau, nah ini semua akan berjalan dan dilihat bagaimana nantinya. Bagaimana statusnya istri kedua ini, apakah melanggar atau tidak, tentunya memiliki risiko berat bagi istri kedua bila benar dia seorang ASN juga," katanya.
Selain itu, jika tidak sesuai prosedur maka juga akan berpengaruh terhadap posisi Jaksa Agung di mata masyarakat. Tentunya bagi pak Jaksa Agung juga harus arif dan para JAM pun harus turut mengingatkan.
"Nah, apakah pernikahannya sudah sesuai prosedur atau tidak. Memang boleh saja menikah kedua kali, kan memang tidak dilarang kok, cuman ada ketentuan dan etika yang harus ditaati dan dihormati apalagi posisi beliau sebagai ‘wajah’ institusi Kejaksaan," lanjutnya.