JAKARTA - Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiarti memaparkan, sejumlah bahaya bagi partai personal atau partai yang bergantung pada satu sosok dan tidak mampu melakukan regenerasi. Salah satunya adalah gagalnya sistem rekrutmen.
Hal ini dia sampaikan untuk menanggapi terpilihnya kembali Prabowo Subianto menjadi Ketua Umum Partai Gerindra periode 2020-2025 yang dianggap sebagai bentuk tak berjalannya regenerasi di internal partai ini.
"Partai personal ini karena memang menempatkan elite individu sebagai yang paling berpengaruh dan sentral di dalam partai maka pada akhirnya menjadikan fungsi partai tidak berjalan normal. Rekrutmen, kaderisasi, dan suksesi partai tak berjalan dengan baik," kata Putri kepada VOI, Senin, 10 Agustus.
Gagalnya rekrutmen dan kaderisasi di internal partai inilah yang kemudian menyebabkan hadirnya politik dinasti. Sebab, pada akhirnya hanya individu elite dan keluarganya saja yang memiliki akses dan terpilih pada posisi penting partai dan hal ini membuat oligarki partai menguat.
"Saat oligarki partai menguat, situasi ini umumnya akan menjalar pada terbentuknya politik dinasti dan oligarki politik yang lebih luas. Karena pencalonan legislatif dan pimpinan eksekutif baik kepala daerah maupun presiden akhirnya berputar pada kandidat elite partai dan keluarga pemilik partai sebagai kendaraan politik," ujarnya.
Terbentuknya oligarki ini, dinilai Putri juga berdampak lebih luas dan bisa merugikan publik karena berbagai hal. Salah satunya adalah melemahnya kontrol partai terhadap mereka yang duduk sebagai anggota legislatif maupun yang mengisi jabatan di tingkat yudikatif.
Sebab, mereka yang duduk di jabatan itu bukan lagi mereka yang memang mampu dan punya kapasitas. "Tetapi semata-mata terpilih karena jaringan kekerabatan dan faktor lainnya dan secara kumulatif seluruh hal itu berdampak buruk bagi demokrasi," tegasnya.
Lebih lanjut, Putri menilai regenerasi di dalam partai yang mengandalkan citra personal ini sebenarnya bisa dilakukan. Asalkan, partai tersebut secara perlahan mengalami dinamika yang mengarahkan pada penguatan ideologi dan menghidupkan kehidupan partai yang lebih demokratis.
Perubahan ini, sambung dia, juga bisa didorong dari sejumlah aspek baik internal maupun eksternal. "Misalnya karena ada pergolakan internal partai atau karena ada dorongan dari luar partai misalnya regulasi, tuntutan konstituen, dan lainnya," ujar dia.
BACA JUGA:
Menambahkan Putri, pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin juga sepakat jika ketidakmampuan partai politik dapat menimbulkan oligarki di dunia politik dan tidak sehat. Selain itu, ketergantungan akan satu sosok juga membuat partai menjadi tidak sehat.
Jika tokoh sentral di dalam partai tersebut tiba-tiba terkena kasus atau meninggal dunia maka partai itu bisa mengalami perpecahan.
Diketahui, selain Partai Gerindra, terdapat sejumlah partai yang memang hanya dipimpin oleh satu tokoh sejak lama.
PDI Perjuangan, misalnya. Partai ini dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri sejak tahun 1999 atau setelah memisahkan diri dari Partai Demokrasi Indonesia. Selain itu ada juga Partai NasDem yang diketuai oleh Surya Paloh sejak tahun 2013 hingga saat ini.
Sebelumnya, Kongres luar biasa (KLB) Partai Gerindra yang diselenggarakan pada Sabtu, 8 Agustus secara resmi kembali memilih kembali Prabowo Subianto sebagai ketua umum sekaligus ketua dewan pembina pada periode 2020-2024.
Juru Bicara Partai Gerindra, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan seluruh pengurus DPD Partai Gerindra telah sepakat menerima laporan pertanggungjawaban kepengurusan dewan pembina partai periode 2015-2020. Selain itu, seluruh perwakilan Partai Gerindra di daerah dari 34 provinsi juga sepakat meminta Prabowo Subianto yang kini menjabat sebagai Menteri Pertahanan (Menhan) kembali memimpin partai tersebut.
Hanya saja Dahnil membantah jika terpilihnya kembali Prabowo merupakan bukti tak berjalannya kaderisasi di partai tersebut. Sebab, dia menilai partai ini memiliki banyak tokoh yang siap bersinar.