Peringatan dari KPK: Beri Hadiah ke Dosen Masuk Perilaku Korupsi
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengatakan praktik pemberian bingkisan dari mahasiswa ke dosen sama saja dengan praktik korupsi.

Awalnya, Alexander melemparkan pertanyaan terkait boleh atau tidaknya seorang dosen menerima bingkisan dari mahasiswa. Hal ini dia sampaikan ketika menghadiri Kuliah Umum Pendidikan Antikorupsi di Universitas Yayasan Pendidikan Islam (Yapis) Papua, Senin, 22 November.

"Boleh tidak (dosen menerima bingkisan dari mahasiswa, red)?" tanya Alexander dalam acara tersebut yang dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa, 23 November.

Ia menjelaskan praktik tersebut sebenarnya masuk ke dalam perilaku korupsi. Penyebabnya, dosen yang menerima barang dari mahasiswa mereka biasanya cenderung tidak adil dengan kelompok mahasiswa lainnya.

"Perilaku tidak adil itu bagian dari perilaku koruptif," tegas Alexander.

Selanjutnya, dalam kuliah umum itu, dia juga menjelaskan sejumlah tugas pokok dan fungsi KPK dalam upaya melakukan pemberantasan korupsi. Ada tiga pendekatan yang dilakukan oleh komisi antirasuah yaitu mulai dari pendidikan, pencegahan, dan penindakan.

Pendekatan berbasis pendidikan, sambung Alexander, dilakukan dengan mengimplementasikan sikap antikorupsi agar anak-anak bisa jadi generasi berintegritas yang senantiasa memegang nilai kejujuran hingga kerja keras.

Atas alasan inilah, ia kemudian mengingatkan mahasiswa dan sivitas akademika Universitas Yapis Papua untuk selalu menjaga integritas. Menurutnya, nilai-nilai integritas seperti kejujuran dan kerja keras harus ditanamkan kepada anak-anak didik sejak dini.

Selain itu, Alexander juga menilai ada hal yang perlu diperbaiki dalam sistem pendidikan. Pembentukan karakter, sambung dia, harus dilakukan sejak dini dan kemudian dilengkapi dengan kemampuan akademik.

Apalagi, mengutip data survey yang dilakukan KPK pada 2013 dalam studi pencegahan korupsi berbasis keluarga hasilnya cukup mengejutkan. Penyebabnya, kurang dari 10 persen keluarga di mana ayah dan ibu mengakui secara bersama-sama menerapkan nilai kejujuran untuk diinternalisasi di dalam keluarga.

“Orang tua lebih khawatir anak-anaknya mendapat nilai matematika merah atau belum bisa membaca di kelas satu daripada karakter anak yang tidak mau antri,” pungkasnya.