JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) batal memeriksa mantan Sekretaris DPRD Kabupaten Bintan, Muhammad Hendri karena sudah meninggal dunia. Ia sebenarnya akan dipanggil sebagai saksi untuk melengkapi berkas milik Bupati Bintan nonaktif Apri Sujadi yang jadi tersangka dugaan korupsi pengaturan barang kena cukai.
"Muhammad Hendri, Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bintan, Wakil Kepala BP Bintan Tahun 2011-3013, Anggota (2) Bidang Pelayanan Terpadu BP Bintan Tahun 2013-2016 informasi yang kami terima yang bersangkutan telah meninggal dunia," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri kepada wartawan, Selasa, 9 November.
Meski tak jadi memeriksa Hendri namun ada lima saksi yang akhirnya diperiksa pada Senin, 8 November kemarin. Mereka diperiksa di Kantor Polres Tanjung Pinang, Kepulauan Riau.
Kelima saksi tersebut adalah staf Bidang Perindag dan Penanaman Modal Badan Pengusahaan Bintan Wilayah Kabupaten Bintan & Kepala Bidang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan di DPMPTSP Kabupaten Bintan, Alfeni Harmi; mantan Kepala BP Bintan, Mardhiah; dan Anggota Bidang Perdagangan dan Penanaman Modal BP Bintan, Risteuki Napitupulu.
BACA JUGA:
Selain itu, KPK juga memeriksa mantan Wakil Kepala BP Bintan, Edi Pribadi; dan anggota (4) Bidang Pengawasan dan Pengendalian BP Bintan Rafid Anandra. Seluruh saksi didalami perihal arahan berulang yang dilakukan Apri untuk mendapatkan fee.
"Para saksi hadir dan didalami keterangannya antara lain terkait dengan dugaan arahan berulang dan berlanjut dari Tsk AS untuk mendapatkan fee atas setiap pemberian izin kuota rokok dan minuman beralkohol di BP Bintan tahun 2017 sampai dengan 2018," ungkap Ali.
Diberitakan sebelumnya, Apri ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK bersama Plt Kepala Badan Pengusahaan KPBPB Bintan Moh Saleh H Umar.
Apri ditahan di Rutan KPK cabang Gedung Merah Putih sementara anak buahnya, Moh Saleh ditahan di Rutan KPK Kavling C1 Gedung ACLC.
Dalam kasus ini, Apri diduga menerima uang sebesar Rp6,3 miliar pada 2017-2018 lalu sementara Moh Saleh Umar menerima uang sebesar Rp800 juta. Akibatnya, perbuatan para tersangka diduga telah merugikan keuangan negara hingga Rp250 miliar.