Bagikan:

JAKARTA - Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman angkat bicara soal klaim obat herbal antibodi COVID-19 buatan Hadi Pranoto. Menurut dia, klaim yang dilakukan Hadi Pranoto adalah sebuah contoh infodemik dan hal ini berbahaya bagi masyarakat yang kini tengah melawan pandemi COVID-19.

"Segala klaim yang tidak berdasar studi ilmiah termasuk dalam kategori infodemik. Dan ini berbahaya karena akan membuat sebagian masyarakat yang tidak memiliki daya nalar kritis akan terpengaruh. Itu sebabnya WHO menyebutkan infodemik sebagai musuh kedua Selain virus," kata Dicky kepada VOI, Senin, 3 Agustus.

Infodemik di tengah masyarakat, sambung Dicky, akan membuat program pencegahan atau upaya pengendalian COVID-19 di sebuah negara maupun di dunia menjadi tidak efektif. Sehingga, klaim yang disampaikan oleh Hadi Pranoto, dinilainya harus dilawan oleh pemerintah bersama dengan ahli.

"Karena keberhasilan program pengendalian pandemi COVID-19 juga bergantung pada strategi komunikasi risiko yang tepat dan efektif. Antara lain melakukan pelurusan atas setiap berita tidak berdasar di masyarakat," tegasnya.

Lebih lanjut, dirinya menekankan masyarakat harus terus menerus diberikan edukasi. Tujuannya, agar mereka tak mudah terpengaruh dengan segala macam infodemik berupa hoaks maupun klaim semacam ini.

Lagipula, Dicky menjelaskan menyampaikan fakta ilmiah apalagi mengenai COVID-19 yang tergolong penyakit baru dan belum banyak diketahui tak cukup hanya menggunakan cara konferensi pers tanpa dasar ilmiah. Karena, segala klaim maupun pernyataan terhadap satu penyakit yang berdampak pada populasi manusia harus memiliki metode ilmiah.

Selanutnya, tiap metode ilmiah harus dimuat di dalam jurnal ilmiah yang terpercaya. Ada beberapa jurnal ilmiah terpercaya, salah satunya Journal of American Medical Associaton (JAMA).

"Jadi bila dimuat di jurnal itu artinya sudah melalui mekanisme peer review. Jadi statement claim atau penyataan itu sudah diverifikasi oleh pakar yang kredibel dan independen sehingga bisa dan layak dimuat di jurnal ilmiah dan jadi rujukan seluruh warga ilmiah, ilmuwan di dunia," jelasnya.

"Di luar mekanisme itu adalah berarti bersifat klaim sepihak dan tidak bisa dijadikan rujukan ilmiah," imbuh Dicky.

Perihal infodemik ini sebelumnya pernah disinggung oleh Pendiri Masyarakat anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Harry Sufehmi. Kata dia, istilah infodemik ini mengglobal saat ini karena memperburuk situasi di tengah pandemi COVID-19. Sebab, seringkali infodemik berakibat fatal karena menimbulkan korban jiwa.

"Infodemik ini bisa cukup fatal sampai menyebabkan korban nyawa. Misalnya informasi mengenai obat tapi hoaks. Jadi lengah, enggak apa-apa kalau kena, tinggal kasih bawang putih padahal sebetulnya hoaks," kata Harry seperti dikutip dari website Kominfo.

Sebelumnya, Hadi Pranoto dalam wawancara dengan musisi Erdian Aji Prihartanto alias Anji di kanal YouTube berbicara soal herbal antibodi COVID-19. Video tersebut diunggah pada Jumat, 31 Juli dan membuat heboh warganet.

Dalam video yang berdurasi sekitar 31 menit itu, Hadi mengaku sebagai profesor. Ia mengklaim telah menemukan obat herbal antibodi yang mampu menyembuhkan COVID-19 dalam hitungan 2-3 hari. Bahkan, obat tersebut telah mendistribusikan antibodi temuannya ke sejumlah wilayah Indonesia seperti, Jawa, Bali, dan Sumatra. 

Hadi juga mengklaim, obat herbal tersebut bisa menyembuhkan ribuan pasien yang terkena corona. Ia juga mengaku, sudah memproduksi ribuan botol obat herbal. 

Namun Hadi mengatakan, ada kendala dari segi anggaran dan biaya dalam produksi obat herbal tersebut. Karena itu, dia meminta bantuan masyarakat yang mampu untuk membantunya. 

"Orang kecil, dewasa, orang hamil dan seterusnya alhamdulillah sampai saat ini temen temen bisa merasakan khasiat obat itu. Sebagai negara yang mempunyai kekayaan alam dengan herbal yang cukup besar dan kita bisa manfaatkan kepentingan masyarakat sendiri menguatkan antibodi," kata Hadi, dalam video wawancara bersama Anji.