Penyelidikan Polisi Soal Kasus <i>Fetish</i> Kain Jarik
Tangkapan layar threat soal Fetish kain Jarik (Twitter)

Bagikan:

JAKARTA - Polisi belum menentukan pelanggaran pidana dari persolan seorang mahasiswa yang memiliki fetish kain jarik. Meski, kuat dugaan jika adanya unsur pelecehan seksual di balik persoalan tersebut.

"Menunggu alat bukti dari penyelidikan (untuk menentukan pelanggaran)," ucap Kabid Humas Polda Jawa Timur, Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko kepada VOI, Sabtu, 1 Agustus.

Penetapan pasal pidana baru akan ditentukan ketika penyidik telah nemukan alat bukti. Kemudian, diperkuat dengan gelar perkara. Sementara, proses penyelidikan saat ini masih dalam tahap penelusuran akun twitter yang menggunggah kisah fetish tersebut.

"Adanya dugaan suatu tindak pidana harus diawali penyelidikan dan mendasar pada 2 alat bukti minimal," tandas Trunoyudo.

Adapun persoalan ini bermula ketika akun Twitter @m_fikris mengunggah kisah Fetish Kain Jarik yang berkedok riset akademik dari mahasiswa PTN di Surabaya.

Pada unggahan itu diceritakan jika pemuda bernama Gilang meminta orang-orang yang menjadi targetnya memotret diri terbungkus dalam kain jarik. Hal itu dilakukan untuk memenuhi keinginan seksualnya.

Belakangan, Gilang diketahui merupakan mahasiswa Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Fakultas Ilmu Budaya Unair mengaku telah menghubungi Gilang untuk melakukan klarifikasi, tapi tidak berhasil.

Label Fetish

Berkaca dari kasus Gilang yang belakangan ini diberi label fetish oleh orang-orang di dunia maya, sebenarnya ada hal-hal yang bisa menjadi pelajaran. Salah satunya pemberian label atau labelling

Dirangkum dari Antara, Psikolog klinis dewasa, Nirmala Ika menyarankan orang-orang tidak memberikan label pada seseorang tanpa adanya pemeriksaan klinis dari pakar yang kompeten.

"Jangan memberikan pelabelan ketika kita tidak benar-benar memahami apa yang terjadi, perlu pemeriksaan oleh orang-orang yang kompeten dengan persoalan tersebut sehingga dapat diberikan treatment yang tepat untuk orang tersebut," ujar Nirmala.

Menurut dia, memberi label pada seseorang tanpa mengetahui kondisinya sama dengan merundung orang yang bersangkutan. Ini bisa berdampak pada sosok yang diberi label, termasuk membuat dia berperilaku semakin buruk.

"Itu jelas memberikan dampak kepada orang yang bersangkutan dan kadang seringkali malah membuat dia 'makin buruk' karena merasa marah dan tidak dipahami," kata dia.

Dari sudut pandang korban, Nirmala menilai pentingnya para korban mendapatkan penanganan dari orang-orang yang kompeten di bidangnya, karena ini bukan pengalaman yang mudah juga bagi sebagian orang.

"Jangan berikan stigma juga kepada mereka. Karena kita cenderung suka memberikan stigma pada orang lain misalnya pada korban pemerkosaan bahkan yang pada pasien COVID-19, yang kalau dipikir-pikir siapa sih yang mau mengalami itu semua," tutur Nirmala.