JAKARTA - Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen yang menghadapi penyelidikan terkait pembunuhan kawanan cerpelain di negara itu tahun lalu, membantah dirinya mengetahui pemerintah tidak memiliki otoritas hukum untuk memerintahkan tindakan tersebut.
Menanggapi meningkatnya penyebaran virus corona dari cerpelai ke manusia, termasuk varian baru yang bermutasi, pemerintah Sosial Demokrat Frederiksen tahun lalu memerintahkan 17 juta cerpelai di negara itu dibunuh.
Pemerintah kemudian mengakui tidak memiliki wewenang hukum untuk membunuh kawanan cerpelai yang sehat, hanya mereka yang terinfeksi virus corona, yang menyebabkan mundurnya menteri pertanian.
Parlemen Denmark meluncurkan penyelidikan pada Bulan Desember, apakah menteri lain termasuk Frederiksen mengetahuinya, tetapi mengabaikan dasar hukum yang salah untuk perintah tersebut.
"Motif apa yang seharusnya dimiliki pemerintah untuk tidak mengungkapkan kurangnya dasar hukum? Biarkan saya jelaskan: Saya tidak tahu," kata PM Frederiksen dalam jumpa pers, menawarkan pembelaannya yang paling rinci sejauh ini, mengutip Reuters 4 November.
Sebelum pembantaian, yang membuat industri ini hancur, Denmark adalah produsen kulit cerpelai berkualitas tinggi terbesar di dunia, yang menjadi favorit dalam industri fesyen karena karakternya yang lembut seperti sutra. Anggota parlemen oposisi menuduh perdana menteri sengaja menentang penyelidikan.
BACA JUGA:
Penyelidik ingin meninjau pesan teks yang dikirim oleh Frederiksen dan pejabat di kantornya, tetapi mengatakan pesan tersebut telah dihapus karena petugas mengatur ponsel mereka untuk menghapus teks setelah 30 hari. Kementerian Kehakiman bekerja sama dengan polisi untuk memulihkan pesan tersebut.
"Apakah pesan-pesan teks itu akan menunjukkan sesuatu yang baru tentang pengetahuan saya tentang kurangnya dasar hukum? Tidak, mereka tidak akan melakukannya," sebut Frederiksen.
Untuk diketahui, penyelidikan itu, yang akan membuat PM Frederiksen berdiri pada 9 Desember, akan mempresentasikan kesimpulannya pada Bulan April.