Artikel "Industri Film Korea Utara yang Dibangun dari Propaganda dan Penculikan Sutradara Korea Selatan Shin Sang-ok" telah membawa kita sejenak ke dalam kisah menarik di balik industri film Korea Utara. Bagian dari Tulisan Seri khas VOI, "Invasi Drama Korea", kini kita kembali ke Korea Selatan, melihat bagaimana industri hiburan, khususnya film dan drama televisi dibangun. Pemerintah memegang peran besar.
Drakor The World of the Married memecahkan berbagai rekor. Sebuah gejala kecil dari berlanjutnya kisah sukses industri hiburan di Korea Selatan. Gejala yang lebih besar adalah dominasi tayangan drakor sebagai tontonan utama orang-orang, khususnya di Asia. Di Netflix, misalnya. Berdasar laporan Straits Times, April lalu, Crash Landing On You dan Itaewon Class menempati sepuluh besar film paling banyak ditonton di Netflix Singapura.
Di layanan streaming lainnya, Viu, The World of the Married mendominasi penayangan dengan menyedot 55 persen penonton Viu. Selain itu, serial drama Korea yang termasuk paling banyak ditonton lainnya adalah When The Weather Is Fine (2020) dan Meow The Secret Boy (2020). Meski begitu, judul terakhir disebut drakor dengan rating terburuk.
Sejumlah literasi menyebut tahun 2000-an sebagai awal ekspansi drakor di dunia, ketika judul-judul seperti Winter Sonata dan Full House mengisi jam tayang televisi di berbagai negara Asia. Kemudian, lanjutan invasi terjadi di tahun 2009, ketika Boys Before Flowers diproduksi KBS. Kisah Gu Jun Pyo (Lee Min Ho) dan gengnya, F4 begitu digilai.
Bagi Lee Min Ho, Boys Before Flowers memoncerkan kariernya. Sejak itu, ia kerap didaulat membintangi drakor-drakor populer, termasuk The King: Eternal Monarch, judul yang tengah ia jalani. Tak cuma tokoh serta cerita, tayangan Boys Before Flowers juga lekat dengan lagu pengiring berjudul Paradise yang dinyanyikan grup T-Max.
Hubungan antara Boys Before Flowers dengan T-Max dan lagunya Paradise adalah contoh yang dapat menjawab banyak perdebatan di antara mereka yang hanyut dalam Halyu Wave. Benarkah drakor yang menopang industri K-Pop? Atau sebaliknya? Pengamat budaya Korea Selatan yang juga pengajar Program Studi Pendidikan Bahasa Korea Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Ashanti Widyana menuturkan, kebesaran K-Pop nyatanya tak lepas dari kepopuleran drakor. Winter Sonata jadi tonggaknya.
"Sebenarnya, K-Pop yang paling terkenal itu dari generasi kedua. Kalau generasi pertama, yang terkenal itu kayak G.O.D dan H.O.T. Itu pasarnya masih di Korea. Pun yang paling jauh ya di China atau jepang sampai ke sini (Indonesia) tuh masih belum terlalu. Tapi, pada 2002, tepatnya ketika ada World Cup 2002 di Korsel-Jepang dan mulai tadi drama-drama Winter Sonata, nah orang-orang mulai kepo lebih ke dramanya," kata Ashanti.
"Karena memang dulu grup K-Pop tidak seperti sekarang (masih sedikit) masih terbatas juga audiensnya. Titik balik K-Drama di Indonesia pada 2008 ke 2009 khususnya kalau di drama itu Boys Before Flower karena masa itu mainstream-nya orang-orang kenal dengan K-Drama itu di situ, meskipun ada juga yang tahu sejak awal meskipun hanya beberapa pasar," tambahnya.
Selepas serial Boys Before Flower, lagu Paradise, dan T-Max di 2009, grup-grup K-Pop lain bermunculan, mulai dari Super Junior, TVXQ, Shinee, serta grup-grup lain yang berkembang di Asia. "Jadi, orang Indonesia itu (kenal K-Pop) di 2009 itu. Tapi, 2009 sampai 2010 itu masih pelan-pelan grup K-Popnya yang diketahui, hingga akhirnya terus berkembang lagi. Mulai deh ada grup K-Pop generasi ketiga, seperti EXO, BTS, dan segala macam hingga sekarang banyak sekali grup K-Pop.
Berbeda dan total
Di mata Ashanti, ada dua kunci yang membuat drakor begitu diminati dan mampu menginvasi seluruh dunia: berbeda dan total. Menurutnya, drakor memberi begitu banyak pilihan tema kepada penontonnya. Tak melulu drama air mata dan hasrat cinta-cintaan. Meow The Secret Boy, misalnya. Judul tersebut menawarkan drama fantasi menarik, berkisah tentang seekor kucing yang menjelma menjadi seorang pria. Selain fantasi, drakor juga mampu mengangkat kejadian nyata ke dalam layar. Signal produksi tvN, misalnya. Drakor itu mengangkat pembunuhan berantai Hwaseong yang baru menemukan tersangka utamanya pada 2019 lalu.
Selain mengangkat kisah fantasi dan kejadian nyata, industri drakor juga memiliki kemampuan beradaptasi dan mengolah klise. Tahun lalu, misalnya, ketika drama yang berkaitan dengan dunia medis laku keras, judul-judul lain bermunculan. Sebut saja Dr. Romantic hingga Doctor Prisoner. Soal beradaptasi. Perkembangan memang nyata. Penonton haus kebaruan. Itu yang kini dihadapi dan dijalani para pelaku industri hiburan Korea Selatan. Hari ini, ketika fantasi begitu diminati, mereka memproduksi judul-judul unggul, seperti Hi Bye Mama atau The King: Eternal Monarch.
Segala pilihan tema itu dipadukan dengan totalitas para pelaku industri drakor. Soal produksi desain, misalnya. Judul-judul bertema kerajaan jadi yang paling disoroti Ashanti. Mr. Sunshine rilisan 2018, misalnya. Judul tersebut mengangkat sejarah invasi Jepang di Korea. Produksi judul tersebut dilakukan dengan sangat apik. Tak hanya berhasil meramu kisah sejarah menjadi konsumsi yang mudah dicerna, Mr. Sunshine juga sukses sebagai alat propaganda dan medium promosi Korea Selatan. “Korea Selatan tidak takut mengeksplor drama-drama kerajaan. mereka benar totalitas,” ujar Ashanti.
Dari negara untuk negara
Terkait medium promosi, industri hiburan Korea Selatan sejak awal memang dibangun untuk memenuhi kebutuhan itu. Industri hiburan Korea Selatan bukan hanya berhasil menjadi produk budaya dan jadi sumber pemasukan, tapi juga mengatrol aspek-aspek ekonomi lain dalam negeri. Sebut saja wisata, makanan, atau buah tangan.
Goblin, misalnya. Judul itu berhasil mengangkat Pantai Youngjin di Jumunjin menjadi tempat wisata yang amat diminati. Dipicu dari adegan pertemuan Eun Tak (Kim Geoun) dan Goblin (Gong Yoo), pengelola tempat wisata itu bahkan menyediakan properti berupa bunga dan syal merah yang memungkinkan pengunjung meniru adegan orisinil dalam Goblin.
Selain Goblin, Winter Sonata juga memberi dampak yang sama. Melakukan syuting di Pulau Nami, judul itu berhasil mengangkat popularitas pulau tersebut. Patung Kang Joon Sang (Bae Yong Joon) dan Jeong Yoo jin (Choi Jiwoo) bahkan dibangun di atas pulau tersebut sebagai monumen mengenang kebesaran Winter Sonata.
Tak cuma wisata, beberapa merk makanan dan minuman ikut diekspor ke berbagai benua karena PPL (product placement) yang kerap dilakukan. Akhirnya, penonton ‘terpancing’ untuk mengikuti apa yang dikonsumsi dan dikenakan para pemain dalam drama. Salah satunya, Mango Six yang didatangi Lee Min Ho dalam drama The Heirs.
Efek besar dari drama tersebut membuat Mango Six melakukan ekspansi hingga Amerika Serikat (AS). Uniknya, pemasangan PPL dalam drama ini diselipkan secara natural dan menjadi bagian dari cerita.
Sebagai media promosi pemerintahan, biasanya logo Kementerian Kebudayaan Korea muncul di kredit akhir tayangan. Bukan asal muncul. Hal ini menunjukkan pemerintah memegang andil besar terkait tayangan yang diproduksi.
Dukungan pemerintah
Sejak awal, industri hiburan Korea Selatan, termasuk drakor telah menjadi proyek raksasa pemerintah Korea Selatan. Dikutip dari artikel era.id, setidaknya ada tiga institusi atau lembaga yang khusus bertanggung jawab dalam menjamin kontinuitas persebaran Hallyu Wave. Lembaga-lembaga itu adalah KOCCA, KOFICE, dan KTO. Ketiga lembaga itu berdiri di bawah koordinasi Kementerian Budaya, Olahraga dan Pariwisata Korea Selatan (MCST).
KOCCA atau Korea Creative Content Agency adalah agen pemerintah Korea Selatan yang bertanggung jawab atas kemajuan kontek kreatif Korea Selatan, di dalam dan luar negeri. KOCCA sebagai wadah inkubator industri kreatif Korea Selatan bertanggung jawab atas berbagai industri, mulai dari musik, fesyen, penyiaran, gim hingga animasi. KOCCA juga berwenang mengurus persoalan perizinan dan hak kekayaan intelektual.
Selanjutnya, KOFICE atau Korea Foundation for International Cultural Exchange. Lembaga ini menjalankan misi pertukaran budaya dan program akademik. KOFICE adalah lembaga yang membawa langsung misi memperkenalkan budaya Korea Selatan, khususnya Hallyu. Di bawah lembaga ini juga dijalankan sebuah program pengembangan bahasa dan pengenalan budaya Korea Selatan: Enhancement of Korean Studies and Language Overseas dan The Korea Foundation Cultural Center.
Yang ketiga adalah KTO alias Korean Tourism Organization. Lembaga ini bertanggung jawab pada perkembangan budaya dan pariwisata yang berdampak langsung terhadap devisa negara. Lembaga ini juga jadi jembatan penting yang mewadahi potensi keuntungan negara dari datangnya turis mancanegara yang tersedot gemerlap Hallyu. Ruang lingkup KTO termasuk yang paling luas karena atraksi wisata yang dikerjakan adalah atraksi yang telah --dan akan-- diperkenalkan dalam berbagai konten Hallyu, baik itu drama, gim, ataupun musik. Lewat sebaran Hallyu itu, KTO juga bertanggung jawab membentuk stigma menarik Korea Selatan.
Kemampuan ajaib adaptasi
Selain berbagai hal di atas, ada hal ajaib lain dari industri hiburan Korea Selatan, khususnya drakor. Jika Anda penonton setia drakor, Anda pasti pernah menemui judul-judul populer yang nyatanya merupakan hasil adaptasi dari judul lain hasil produksi negara lain. The World of the Married, misalnya, yang merupakan hasil adaptasi serial Inggris, Doctor Foster. Kecenderungan menarik drakor dalam hal ini adalah kemampuan mereka meramu sebuah judul yang tak laku menjadi populer.
Drakor pertama yang merupakan hasil adaptasi serial lain adalah The Good Wife garapan tvN. The Good Wife adalah hasil adaptasi dari serial Amerika Serikat berjudul sama. Dibintangi Jeon Do Yeon dan Yoo Ji Tae, drama ini berhasil menarik perhatian penonton berkat ceritanya yang tidak umum. Rating-nya mencapai 5 persen, terhitung tinggi untuk penayangan televisi kabel. Selain itu, di tahun 2018 ada drama Life on Mars yang diadaptasi dari serial berjudul sama milik BBC One. Bercerita tentang perjalanan seorang detektif ke masa lampau membuat drama ini menjadi perbincangan dan diganjar permintaan penayangan musim keduanya.
Tak cuma serial. Drakor juga kerap mengadaptasi webtoon dan komik. Sementara, untuk membeli lisensi serial, biasanya skrip adaptasi dilempar ke pasar lelang untuk diperjualbelikan. Hal ini diungkapkan BBC dalam pernyataan resminya ketika JTBC membeli skrip orisinil Doctor Foster untuk adaptasinya.
Rencana ini sudah diumumkan sejak 2018, namun baru terealisasi pada 2020. Kerjasama BBC dan JTBC melalui adaptasi Doctor Foster memuluskan langkah JBTC mengadaptasi serial BBC lainnya seperti The Split dan Undercover yang sudah dikonfirmasi pada awal Mei lalu.
Tak selalu dengan lisensi. Beberapa drakor juga plagiat. It’s Okay, It’s Love milik SBS memiliki teaser promosi yang meniru film pendek Olive Juice arahan sutradara Celia Rowlson-hall. Tim produksi pun meminta maaf di hari konferensi pers dan menghapus empat video teaser secara resmi.
My Love From the Star juga diduga menjiplak serial televisi NBC, New Amsterdam karena dalam adegan transisi ke masa modernnya dinilai persis menjiplak adegan dari serial Amerika tersebut. Meskipun tidak ada pernyataan resmi dari tim produksi maupun stasiun televisi, tetapi hal ini sempat menjadi pembicaraan di antara penonton dan menyayangkan hal ini terjadi.
Banyak faktor yang membelakangi kesuksesan adaptasi ke drama korea, yakni konsep yang segar dan berbeda dari plot cerita pada umumnya, serta keberanian tim produksi mengambil langkah baru yang jauh dari drakor yang terkesan klise. Dengan adanya adaptasi dari versi luar negeri, tim produksi ingin mengenalkan genre baru dalam drakor. Sejauh ini, serial yang diadaptasi juga dinilai dewasa dan kebanyakan ditujukan untuk 21 tahun ke atas berbeda dengan drakor yang bisa ditonton mulai remaja dan dewasa.
Ikuti Tulisan Seri edisi ini: Kemajuan Drakor di Bawah Bayang Patriarki dan LGBT