Museum Gajah atau Kuil Ilmu Pengetahuan
Museum Gajah (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - “Sejauh ini, inilah museum terbaik di belahan dunia, dan berisi apa yang bisa disebut sebagai pameran etnologi sempurna tentang Malaya dari Sumatera di barat hingga Guinea Baru di timur.”

Pujian itu dilontarkan langsung oleh George M. Reith, penyusun Handbook to Singapore. Reith langsung kagum saat melakukan kunjungan pertama ke Museum Bataviaasch Genootschap --kini Museum Nasional-- pada tahun 1896.

Kiranya, siapa pun yang datang ke museum yang awalnya merupakan perkumpulan seni dan ilmu pengetahuan, sudah tentu akan berucap hal yang sama. Siapa pun, pasti takjub melihat koleksi museum.

Kekaguman juga diucap oleh Raja Chulalongkron dari Siam, yang dalam tiga kali kunjungannya (1871, 1896, dan 1901) ke Hindia Belanda selalu mengunjungi museum ini. Sanking kagumnya, pada kunjungan pertama tahun 1871, dirinya menghadiahkan sebuah patung gajah yang terbuat dari perunggu kepada museum.

Ternyata, hadiah yang diberikan ada syaratnya. Oleh John Miksic, dalam buku berjudul Borobudur: Golden Tales of the Buddhas (1990) diungkap, Raja Siam tersebut kemudian meminta izin kepada pemerintah kolonial Belanda untuk membawa pulang sembilan gerobak penuh dengan arca dan karya seni dari masa klasik Jawa.

Ilustrasi foto koleksi museum (Wikimedia Commons)

Di antara koleksi itu adalah 30 relief, lima arca Buddha, dua arca singa, hingga beberapa langgam kala yang biasanya ada di bagian atas pintu masuk candi. Selain itu, ada juga arca dvarapala yang merupakan temuan dari Bukit Dagi, yaitu bukit yang berada beberapa ratus meter di barat laut Candi Borobudur.

Walau terhitung pertukaran tersebut sangat merugikan bagi pemerintah Hindia-Belanda, oleh-oleh berupa Patung Gajah perunggu yang ditempatkan di halaman depan museum menjadi dasar orang-orang menyebut Museum Bataviaasch Genootschap sebagai Gedung Gajah (het olifantenhuis). Menariknya, sebutan itu langgeng diucap hingga kini.

Kuil ilmu pengetahuan

Walau terhitung baru pada masanya, namun Museum Gajah sudah dikenal sebagai kuil dari ilmu pengetahuan di seantero negeri Amerika, Jerman, Inggris dan Prancis. Hal itu diungkap langsung oleh serdadu Belanda, H.C.C Clockener Brousson dalam buku berjudul Batavia Awal Abad 20 (2004).

Dirinya yang sempat berpelesir di Batavia, mengungkapkan kekaguman akan museum yang zaman dulu sempat dianggap sebagai gedung perabot oleh orang Belanda. “Saya berani bertaruh banyak orang di Belanda yang menganggap Hindia masih berupa negeri liar yang banyak terdapat harimau dan ular serta di sana-sini perkebunan gula dan tembakau. Mereka akan terkejut jika tahu bahwa di sini ada museum yang terkenal di dunia.”

Di bangunan yang bergaya Yunani kuno inilah Clockener menikmati seluruh koleksi dari museum. Pengetahuan yang didapatnya cukup banyak. Sampai-sampai dirinya berasumsi, “para ilmuwan dari penjuru dunia datang ke sini untuk memperkaya pengetahuan mereka.”

Hal yang diungkap oleh Clockener ada benarnya. Tak hanya mengagumi, banyak dari mereka yang datang turut memanfaatkan kunjungan untuk mengetahui sejarah Indonesia dan perkembangan dari museum yang didirikan oleh J.C.M Rademacher, seorang anggota Raad Van Indie pada 24 April 1778.

Selain itu, Sebagai museum tertua di Asia Tengggara, koleksi museum terhitung cukup lengkap. Bagaimana tidak, empunya perkumpulan seni Radermacher telah menyumbang sendiri sejumlah benda-benda kuno berupa patung-patung batu, perunggu, benda-benda etnografi dan buku-buku sebanyak enam lemari untuk koleksi pertama museum.

Ilustrasi foto koleksi museum (Wikimedia Commons)

Perkumpulan yang didirikan oleh Rademacher semakin berjaya kala Hindia-Belanda berada di bawah kekuasaan Inggris lewat Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles (1811 – 1816). Stamford Raffles telah lama dikenal memiliki ketertarikan luar biasa pada budaya dan sejarah.

Karenanya, wajar jika museum ini kemudian populer dan dianugerahi sebagai salah satu objek wisata wajib di Hindia-Belanda kala berkunjung ke Batavia oleh salah satu buku panduan wisata abad ke-19. Kepopulerannya bersanding dengan objek wisata macam kawasan Kota Tua, Weltevreden, Koningsplein, dan Sosieteit De Harmonie.

Gambaran kepopuleran dari museum lainnya turut diungkap oleh Achmad Sunjayadi dalam buku berjudul Pariwisata di Hindia-Belanda 1891 -1942 (2019). Ia mengungkap, di museum itu dulunya sering terdapat pameran-pameran yang memperkenalkan budaya Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

Sebut saja pameran bertema kerajinan dari seluruh penduduk di Nusantara pada 1929. “Atas inisiatif dari Koninklijk Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, di aula museum diadakan pameran kerajinan dari seluruh penduduk di Hindia-Belanda.”

Tujuan dari pameran, tak lain untuk memberikan gambaran pada peserta kongres, Pacific Scinence Congres, mengenai keragaman penduduk di Hindia-Belanda, baik berupa kebiasaan, tarian, pakaian dan keahlian mereka.

Tak hanya menjadi medium pembelajaran bagi orang Eropa, Museum Nasional pun sering dijadikan sebagai kuil ilmu pengetahuan yang dikunjungi oleh sastrawan Indonesia. Salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer. Gambaran itu didapat dari penuturan Rosihan Anwar dalam buku Sejarah kecil "petite histoire" Indonesia, Volume 3 (2009).

Dirinya sering terbayang ingatan akan momen di Museum Gajah, yang mana saat itu empunya buku berjumpa dengan Pram. “Saya sedang mengembalikan kepada petugas buku-buku yang telah dibaca dan tidak boleh dibawah pulang," tertulis.

"Di samping saya, dengan jarak satu meter, berdiri Pramoedya Ananta Toer. Ia pakai peci. Ia menaruh beberapa buku di atas meja. Seperti dalam dunia teater terjadi eye-to-eye contact. Pram tidak menyapa, saya pun tidak.”

Bahkan, mantan Presiden Pertama Indonesia Soekarno juga memiliki kenangan akan Museum Gajah. Bung Karno kala itu sering menjilid buku-bukunya di sini dengan cover linen halus dan judulnya ditulis dengan tinta emas.

Cerita itu ditulis oleh mantan pegawai Museum Gajah Wahyono Martowikrido dalam bukunya berjudul Cerita dari Gedung Arca (2006). Ia menceritakan, “Beliau (Bung Karno) merasa puas dan menyampaikan pujiannya atas pekerjaan itu.”

“Memang penjilid-penjilid buku di perpustakaan itu adalah ahli yang bekerja di situ sejak zaman Belanda dahulu. Sebagaian besar dari mereka sekarang sudah meninggal dunia, dan sebagaian lagi sudah pensiun tetapi masih aktif bekerja,” tulis Wahyono.