JAKARTA - Museum Nasional alias Museum Gajah, yang berada di jalan Merdeka Barat nomor 12, Jakarta Pusat, punya banyak cerita. Salah satunya tentang julukan Gedung Jodoh untuk museum ini di tahun 1950-an.
Wahyono Martowkrido dalam bukunya berjudul Cerita dari Gedung Arca, menceritakan musabab gedung itu disebut Gedung Jodoh. Wahyono merupakan pekerja di Museum Nasional periode 1964-1998.
"Setiap harinya, apalagi kalau hari Minggu banyak pengunjung berbondong-bondong sekedar untuk melihat-lihat koleksi atau iseng-iseng melihat-lihat orang yang berpasang-pasangan. Inilah yang menyebabkan gedung museum itu terkenal dengan sebutan 'gedung jodoh istimewa', malahan didendangkan dalam nyanyian,” kata Wahyono.
Gedung ini tadinya dijadikan sebagai Bataviasche Genootschap van kunsten en Wetenschappen (perkumpulan untuk seni dan ilmu pengetahuan). Di tempat ini, beragam pertunjukan digelar dan menjadi tempat mencari hiburan.
Meski dinamakan Gedung Jodoh, tapi mereka yang pacaran di tempat ini dilarang melakukan tindakan tak senonoh. Wahyu punya cerita, sempat ada penjaga tua yang menegur pasangan yang sedang pacaran untuk mencegah perbuatan yang tidak sopan. Setelah ditegur, muda-mudi yang berpacaran tadi meminta maaf dan meninggalkan museum ini.
"Maaf tuan. Di dalam museum ini banyak benda-benda keramat. Banyak pula penunggunya. Sebaiknya jangan berbuat senonoh di sini. Itu kalau tuan ingin supaya hubungan tuan dengan Nona ini tetap langgeng," cerita Wahyono.
BACA JUGA:
Sejarawan JJ Rizal mengatakan, julukan Gedung Jodoh untuk Museum Nasional diawali karena tempat itu sering menghelat pertunjukan musik. Lama-lama, tempat ini jadi tempat untuk kongko.
"Saat itulah muda-mudi amprok dan akhirnya ketemu jodoh di museum. Mereka semakin bertambah ramai di akhir pekan, apalagi saat hari Lebaran tiba. Maka pengunjung akan tumpah ruah," tutur JJ Rizal berbincang dengan VOI beberapa waktu lalu.
Cerita soal Gedung Jodoh juga ditulis Alwi Shahab dalam Batavia Kota Hantu, di bagian cerita Pacaran di Gedung jodoh.
Ia menggambarkan, gedung ini selalu ramai dikunjungi anak-anak muda. Pada tahun 1950-an, pengunjung mencapai ribuan per hari, dan akan ramai pada malam Minggu. Namun, pada berjalannya waktu, pengunjung museum itu hanya 100 orang per hari.
"Di gedung inilah tiap Ahad pagi, para gadis yang berdandan seelok mungkin, rambut dirol meniru noni-noni Belanda dan para perjaka yang berjambul saling pandang. Asal penampilan yahud dan punya keberanian, pacaran bisa berjalan mulus. Seperti si Mamad ketika menegur seorang gadis mengenakan rok warna merah, memberanikan diri bertanya, ‘Sendirian, nih?’ Dijawab, ‘Bedua ame yang nanya.’ cerita Alwi Shahab.
Elie Mulyadi dalam bukunya berjudul Menemukan Impian Hati juga menyinggung cerita soal Gedung Jodoh ini.
Ia menuliskan, "saat Melewati Merdeka Barat jalanan agak macet. Dan disitulah pandangan ku terpaku ke gedung Museum pusat. Dulu, di gedung museum pusat ada perpustakaan. Juga dulu, gedung itu dikenal sebagai gedung jodoh. Karena menurut pegawai-pegawai perpustakaan disana, sejak zaman Belanda banyak yang menemukan jodoh disana. Termasuk aku dan Denny.”