Polemik Penghapusan Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan di Tingkat Polsek
Menkopolhukam Mahfud MD (Wardhany Tsa Tsia/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah, melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, menyatakan akan mengkaji usulan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) soal penghapusan kewenangan penyelidikan dan penyidikan perkara di tingkat kepolisian sektor (Polsek).

Pertimbangan dalam usulan tersebut karena penindakan di tingkat polsek dinilai menggunakan sistem target. Artinya, banyak kasus atau perkara yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan atau restorative justice, dan justru mengunakan hukum pindana hanya untuk memenuhi target pengungkapan perkara.

"Kalau tidak menemukan kasus pidana lalu dianggap tidak bekerja. Lalu (perkara) yang kecil-kecil yang harusnya diselesaikan dengan restorative justice, perdamaian, dan kekeluargaan, itu lebih ditonjolkan, seharusnya itu yang ditonjolkan. Sehingga polsek tidak cari-cari perkara," ucap Mahfud di Jakarta, Rabu, 19 Februari.

Usulan dari Kompolnas yang juga dipimpin Mahfud, disebut berdasarkan hasil penelitian dan riset yang cukup lama. Dengan adanya usulan itu, nantinya, aparat kepolisian di tingkat polsek akan mengedepankan restorative justice atau penyelesaian di luar pengadilan.

Sehingga, lebih mengayomi dan menjaga ketertiban masyarakat. Sedangkan, untuk penanganan perkara pidana nantinya bisa ditangani di tingkat polres kabupaten/kota.

"Sehingga penyidikan dan penyelidikan itu oleh polisi seharusnya hanya dilakukan oleh Polres karena kejaksaan itu hanya ada di tingkat kabupaten kota dan provinsi, tidak ada di tingkat Kecamatan, polsek itukan Kecamatan," papar Mahfud.

Meski demikian, pemerintah masih akan mengkaji usulan tersebut dengan melibatkan beberapa pihak agar pertimbang-pertimbangan yang ada semakin matang.

Selain usulan pengahapusan kewenangan penyelidikan dan penyidikan, dikatakan, Kompolnas juga memberi saran soal penindakan hukum harus lepas dari unsur politik. Sehingga, tak ada pembeda saat menangani kasus yang melibatkan sosok atau pun tokoh penting dengan warga sipil biasa.

"Usul misalnya bagaimana agar penindakan hukum tidak dipengaruhi pertimbangan politik. Misalnya kok yang terlibat ini janyan ditindak, orang Papua melakukan itu jangan ditindak biar tidak ramai karena isu merdeka. Itu tidak boleh, hukum ya hukum yamg penting transparan kepada masyarakat," tegas Mahfud.

Menanggapi pernyataan itu, Kabag Penum DivHumas Polri Kombes Asep Adi Saputra mengatakan usulan soal pengahapusan kewenangan penyelidikan dan penyidikan harus dikaji dan didiskusikan. Sebab, keberadaan polsek dalam penyelidikan suatu perkara juga sangat penting. Terlebih bagi daerah-daerah terpencil.

"Memang harus didiskusikan lagi. Karena wilayah Indonesia ini kan besar sekali. Jadi ada 34 polda dan 500 sekian polres, dan polsek ada ribuan. Mengapa ada polsek di tempat-tempat yang tertentu itu (terpencil), memang diperlukan kehadiran Polri disitu. Nanti kita lihat saja diskusinya seperti apa," papar Asep.

Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Kepolisian, tingkatan Mabes Polri, Polda, Polres, dan Polsek memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan. Terlebih menjadi penyidik tak bisa dilakukan secara sembarang dan harus memiliki surat keputusan terlebih dahulu.

"Jadi penyidik itu tak sembarang, dia punya surat keputusan dia sebagai penyidik," ungkap Asep.

Menambahkan, Kriminolog Universitas Indonesia Ferdinand Andi Lolo mengatakan, penghapusan kewenangan penyelidikan dan penyidikan di tingkat Polsek merupakan langkah yang kurang tepat. Sebab, keberadan polisi di tingkat Kecamatan itu merupakan ujung tombak penegakan hukum.

Selain itu, pertimbangan pembentukan Polsek lantaran masalah geografis Indonesia yang sangat luas. Di mana, banyak daerah pegunungan dan kepulauan yang berjarak jauh dari kota.

Nantinya, dengan pengahapusan kewenangan itu akan berdampak pada lambatnya proses penyelesaian suatu perkara dan juga pembengkakan anggaran.

"Jika polsek tidak lagi menangani penyelidikan dan penyidikan, maka, penyelesaian perkara akan semakin lama dan berbiaya besar karena saksi, tersangka dan alat bukti lain termasuk barang bukti harus pergi atau dibawa ke polres di wilayah kota," tegas Ferdinand.

Sehingga, hal itu dianggap akan merugikan masyarakat dari sisi ekonomi, waktu, dan tenaga. Selain itu, dinilai tak akan lagi efektif dalam melayani masyarakat dengan jumlah yang sangat besar.

"Efektif tidak karena pelayanan masyarakat di pedalaman terhambat dan biaya penanganan menjadi besar sehingga tidak cocok dengan prinsip murah, cepat, sederhana. Yang akan terjadi adalah mahal, lambat, rumit," tandas Ferdinand.