Bagikan:

JAKARTA - Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) menemui Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Mereka meminta pemerintah merevisi Surat Keterangan Bersama (SKB) dua menteri terkait pendirian rumah ibadah.

Alasannya, peraturan yang dikeluarkan tahun 2006 ini ditafsirkan berbeda oleh banyak pihak sehingga menyulitkan pembangunan rumah ibadah.

"Itu peraturan bersama menteri tahun 2006 kan intinya memfasilitasi sebenarnya. Memudahkan umat beragama bukan untuk membatasi. Nah, yang terjadi sekarang, masyarakat menafsirkannya dan menggunakannya justru untuk membatasi. Dalam kerangka inilah kami meminta revisi," kata Ketua PGI Gomar Gultom kepada wartawan usai pertemuan di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta Pusat, Kamis, 13 Februari.

Gomar menegaskan, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang juga diatur dalam SKB dua menteri itu juga harusnya direvisi.

"FKUB itu sangat proporsional dalam peraturan yang lama. Kita menuntut itu supaya tidak dipakai kata proporsional karena dengan proporsional itu yang terjadi adalah voting bukan musyawarah. itu menghilangkan spirit bangsa kita untuk musyawarah," tegasnya.

Dia juga menilai FKUB tak boleh menjadi penentu dalam pemberian izin pembangunan rumah ibadah. Sebab, Gomar menilai, pemberian izin tersebut harusnya dilakukan oleh pemerintah dan tak boleh melibatkan oknum sipil seperti FKUB.

"Kalau mau disebut rekomendasi haruslah rekomendasi dari Kementerian Agama misalnya, kanwil (kantor wilayah) atau kandep (kantor departemen) karena dia vertikal dari negara. Kalau FKUB ini kan masyarakat sipil, sangat mudah ditunggangi dan mudah disalahgunakan," ungkapnya.

Sementara itu, Mahfud MD membantah jika pertemuannya dengan PGI tadi membahas soal SKB dua menteri.

"Kita ndak bicara SKB. Bicara kasus, kasus yang diributkan di medsos, di mana itu, di Karimun," kata Mahfud kepada wartawan.

Kasus yang dimaksud oleh Mahfud adalah polemik pembangunan Gereja Katolik Santo Joseph Tanjung Balai, Karimun, Kepulauan Riau. Kasus ini ramai di media sosial beberapa waktu yang lalu. Diketahui, polemik pembangunan gereja tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2013.

Belakangan, aksi massa juga sempat terjadi pada saat peletakan batu pertama renovasi gereja tersebut pada 25 Oktober 2019.  Buntutnya, pembangunan gereja terpaksa dihentikan karena penerbitan izin mendirikan bangunannya digugat oleh sekelompok warga setempat.

Untuk kasus yang di Karimun, Mahfud mengatakan, polemik pembangunan rumah ibadah tersebut sudah selesai. Sebab, sejauh ini sudah ada kesepakatan antara pihak gereja dan pihak lainnya, seperti pihak pemerintah daerah dan pihak forum umat Islam setempat.

"Pokoknya sudah datang ke kantor Menteri Agama tanggal 12 lalu dan mereka sudah sepakat menjaga kondusifitas daerah sambil menunggu putusan peradilan tata usaha negara," ungkapnya.

"Di situ semuanya sepakat kembali ke hukum dan hukum itu pangadilan. Gitu," imbuh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.

Sebagai informasi, pemerintah telah mengatur tata cara pendirian rumah ibadah melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006 dan No 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.

Dalam peraturan tersebut, setiap pendirian rumah ibadah wajib memenuhi syarat administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

Tak hanya itu, ada juga persyaratan khusus yang harus dipenuhi, yaitu daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah. Serta, dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan oleh lurah atau kepala desa. Lalu, ada rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota, dan rekomendasi tertulis Forum Kerukunan Umat Beragama kabupaten/kota.