Bagikan:

JAKARTA - "Sebenarnya, buat lo sebagai Kristen, penting enggak sih menerima ucapan selamat Natal dari kawan-kawan yang beragama non-Kristen?" tanya saya kepada rekan sejawat di kantor. Artikel ini saya tulis dalam posisi duduk berhadapan dengan dia.

Sejujurnya, toleransi amat nyata bagi kami. Saya datang ke kantor untuk mengisi posisi teman-teman yang tengah merayakan Natal hari ini. Dan ia adalah anak rantau. Yang ketimbang rebahan di kost, memilih menemani saya di kantor untuk mengisi hari Natalnya.

"Kalau dari aku enggak masalah. Setiap orang berhak berdiri di atas keyakinannya, apakah mau mengucapkan (Natal) atau tidak. Lagipula, kayaknya yang lebih penting, hari-hari besar agama macam Natal atau Lebaran itu kan sebenarnya momen untuk silaturahmi. Tak cuma sesama Kristen di Natal atau sesama Muslim di Lebaran," katanya.

Sebelum sampai di kantor, saya berkeliling sejak pagi mengunjungi kediaman beberapa kerabat lain yang merayakan Natal. Dengan satu di antaranya, saya terlibat perbincangan soal pandangan ini. Seperti pertanyaan yang saya ajukan pada rekan yang saya temui di kantor, seorang kerabat beragama Kristiani juga menuturkan pernyataan yang kurang lebih sama.

Ia mengakui, sebagai minoritas, ucapan Natal membuatnya merasa lebih diterima di tengah lingkungan masyarakat. Namun, ia mengaku santai. Baginya, keyakinan setiap orang amat penting untuk dihargai.

"Gue sih logis saja. Andai di Islam memang enggak memperbolehkan (seseorang) ucapkan Natal, kenapa juga kita harus terganggu. Kan prinsip menghargai begitu. Gue pengin ajaran gue dihargai, masak gue terganggu dengan ajaran yang diyakini orang lain," katanya.

Jujur saja, silaturahmi dengan saudara-saudara Kristen hari ini membuat saya sadar, media sosial memang seburuk-buruknya tempat bercermin. Keributan yang terjadi di media sosial perihal ucap-mengucap Natal amat tak relevan. Dalam kenyataan, kita semua memang lebih rukun. Momen-momen seperti ini membuat saya semakin yakin bahwa Indonesia sejatinya baik-baik saja.

Pandangan Islam

Perkara ucapan Natal, saya kemudian bertanya pada Husein Ja'far Hadar, Direktur Cultural Islamic Academy yang juga penulis filsafat dan keagamaan Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Kami tak akan menyinggung mana kebenaran dan mana yang tidak. Kami hanya ingin tahu di mana letak perbedaan pandangan umat Islam yang memperbolehkan dan mengharamkan ucapan Natal.

Menurut Husein, dua pandangan itu pada dasarnya memiliki dasar argumen teologis yang kuat. Bagi yang meyakini larangan mengucap selamat Natal, para ulama biasanya berpegang pada pandangan bahwa hari Natal diyakini sebagai hari kelahiran Isa sebagai anak Tuhan. Hal ini jelas bertentangan dengan keyakinan Islam bahwa Isa adalah Nabi yang diutus Allah.

"Yang mengharamkan itu, ulamanya, itu misalnya, banyaklah. Kemudian, argumennya adalah dikhawatirkan merusak atau minimal menggangu iman kita. Karena kita kan beda (pandangan). Kita kan melihat Isa sebagai Nabi, sedangkan mereka (umat Kristiani) melihat (Isa) sebagai anak Tuhan," tutur Husein dihubungi VOI, Rabu, 25 Desember.

"Yang jadi masalah bagi saya, mereka yang mengharamkan tapi landasannya adalah kebencian. Jadi, mereka ini kelompok-kelompok intoleran. Sehingga mereka ini bagian dari propaganda untuk membangun benteng antara kita, umat Islam dengan umat Kristiani," tambah Husein.

Sementara, mereka yang memperbolehkan ucapan Natal pun memiliki dasar argumen yang sama kuatnya. Menurut Husein, pandangan para ulama yang menghalalkan ucapan biasanya didasari pada perkembangan zaman. Mereka yang menghalalkan melihat adanya perubahan konteks dalam pandangan ini.

Husein juga menjelaskan, dahulu ketika ucapan Natal diharamkan, umat Islam tengah terlibat dalam perang salib. Kondisi itu mengharuskan umat Islam menegaskan jati diri mereka. "Jadi, dilarang mengucapkan selamat Natal itu bagian dari budaya kita untuk membangun patriotisme untuk membangun identitas keislaman kita ketika kondisi lagi perang," tutur Husein.