Jakarta adalah sinar yang tak pernah padam. Peradaban terbangun melingkarinya. Kita telah membahasnya dalam "Tentang yang Tinggal Jauh dari Jakarta dan Habiskan Hidup di Jalan". Hal itu jadi salah satu akar masalah kenapa harga rumah makin mahal hingga semakin mustahil bagi kaum muda untuk memilikinya. Artikel pamungkas dari Tulisan Seri khas VOI. Dari berbagai masalah yang telah dibahas, kini kita cari strategi untuk menjawab pertanyaan: "Kapan Mapan Papan?"
Sandang, pangan, papan. Ketiganya adalah kebutuhan utama dalam hidup manusia. Khusus satu yang terakhir telah jadi barang yang mahalnya sulit dijangkau. Bahkan, bagi generasi muda, mimpi punya rumah jadi hal yang makin mustahil. KPR jadi salah satu solusi jitu mengejar cita-cita memiliki rumah yang harganya mencapai ratusan hingga miliaran itu.
Tanpa KPR, keinginan itu bisa jadi sekadar mimpi di siang bolong. Namun, sayangnya tidak semua orang bisa lolos KPR. Perlu catatan keuangan yang baik dan pendapatan yang memenuhi standar harga rumah yang diajukan lewat skema KPR, pastinya. Data Profil Generasi Milenial Indonesia tahun 2018 barangkali bisa jadi alasan awal untuk membangun kenyataan logis tentang kondisi ini.
Dalam data rilisan Badan Pusat Statistik (BPS) itu, tercatat penghasilan rata-rata generasi milenial selama satu bulan berkisar di angka Rp2,15 juta. Bicara Jakarta, misalnya. Realita logis soal sulitnya punya rumah makin terpapar. Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, lewat data Potensi Investasi Sektor Properti mencatat harga tanah yang terus meningkat sejak 2010.
Hal itu jadi salah satu penyebab kenapa harga rumah terus naik. Berat memang, jika melihat potensi kenaikan pendapatan kaum muda. Merujuk data lain yang juga dimiliki Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, dicatat kenaikan upah riil di Ibu Kota hanya menyentuh 10 persen per tahun. "Ketidakseimbangan ini membuat pembangunan rumah menjadi mahal di DKI Jakarta," tertulis dalam laporan.
Bukan cuma perkara gaji. Pola konsumsi kaum muda jadi ironi. Survei mandiri yang dilakukan VOI kepada seratus responden menunjukkan, 61 responden mengaku tak mempersiapkan dana tabungan untuk membeli rumah. Meski begitu, mayoritas responden juga mengungkap niatan mereka untuk membeli papan. Niatan itu ada. Tapi, perencanaan dan cicilan langkah menuju ke sana adalah soal lain.
Pemerintah sejatinya telah mengakomodir mimpi kaum muda tentang papan lewat Program Satu Juta Rumah. Selain itu, ada juga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan, tabungan perumahan untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) yang dikelola Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) hingga Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Namun, berbagai program itu sejatinya belum cukup untuk menjawab permasalahan panjang kepemilikan hunian bagi generasi muda. Untuk menjamin penyediaan rumah murah, pemerintah harus menjamin stabilitas harga tanah. Tanpa tanah murah, rumah murah tak akan jadi solusi paten. Seperti yang dituliskan dalam data penjualan perusahaan konsultan real estate, Cushman & Wakefield tahun 2016 yang mengungkap kenaikan harga tanah sebagai salah satu penyebab mahalnya harga rumah di Ibu Kota.
Solusi
Perencana keuangan, Aidil Akbar Madjid mengamini sulitnya memiliki rumah di Jakarta. Alternatif yang masih memungkinkan untuk dijangkau, menurut Aidil Akbar adalah apartemen. Sebagai gambaran harga apartemen paling murah saat ini berkisar di angka Rp350-400 jutaan. Jika tetap memilih rumah, mau tak mau kita harus bergeser ke kota-kota penyangga macam Tangerang, Bogor, Depok, atau pun Bekasi.
"Kalau apartemen saja segitu, (harga) rumah pasti di atas itu lah ... Jadi masih bisa dapat di Tangerang atau Bekasi. Tapi lokasinya hampir satu jam perjalanan kereta," katanya kepada VOI.
Kami mencoba menyimulasikan rencana pembelian rumah seharga Rp500 juta di wilayah Jakarta. Jalannya, tentu saja dengan memanfaatkan program KPR. Menurut Aidil Akbar, untuk mengikuti program KPR, kita minimal harus menyisihkan 20 hingga 30 persen total pendapatan.
Maka, jika kita hendak membeli rumah dengan harga Rp500 juta, berarti setidaknya kita harus menyiapkan uang panjar sebesar Rp100 hingga Rp150 juta. Dengan panjar itu, artinya kita masih memiliki tanggungan utang sebesar Rp350 hingga Rp400 juta yang harus dicicil per bulan dengan nominal setidaknya Rp4 jutaan. "Kalau cicilan segitu berarti harus punya penghasilan minimal Rp10-12 juta," kata Aidil.
Meski begitu, pendapatan bukan faktor utama. Aidil mengatakan, pola konsumsi milenial yang cenderung menghabiskan uang untuk membeli pengalaman ketimbang aset juga jadi salah satu faktor kunci yang membuat milenial kesulitan punya rumah. Pola pikir ini rasanya jadi penting untuk diselaraskan dengan mimpi memiliki hunian. "Kebanyakan dari mereka itu uangnya habis untuk traveling, untuk ngopi-ngopi, mereka lebih mengumpulkan experience daripada aset," kata Aidil.
Selain itu, KPR juga jadi jalan masuk akal lain. Tak cuma yang konvensional. Hari ini, banyak institusi keuangan yang mengakomodir pelayanan KPR syariah. Ada keunggulan yang bisa diambil dari skema syariah. Dalam praktiknya, bank syariah seakan-akan membeli rumah yang diinginkan konsumen dan menjualnya kepada konsumen tersebut dengan cicilan. Selain itu, ciri skema syariah lain adalah peniadaan bunga dalam transaksi.
Simulasi: Pak Amir mengajukan rencana pembelian rumah seharga Rp500 juta kepada Bank Baik. Nantinya, Bank Baik yang membelikan rumah itu, dengan catatan Bank Baik berhak mengambil keuntungan --angka tergantung margin-- sebesar Rp100 juta. Artinya, Pak Amir harus mencicil pembayaran rumah kepada Bank Baik dengan tenor berjumlah total Rp600 juta. Catatan penting dalam skema KPR syariah, kesepakatan antara bank dan pembeli rumah dilakukan di awal.
Waspadai
Ada beberapa catatan yang harus diingat ketika ingin membeli rumah. Kami mewawancarai Junaidi Abdillah, Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI). Menurut Junaidi, ada cara mudah yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi mana pengembang bodong dan asli.
Pertama, dengan memastikan pengembang dapat menunjukkan legalitas setidaknya berupa Surat Keputusan (SK) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) dan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP). Cara ini bisa digunakan sebagai langkah awal identifikasi.
Kemudian, untuk memastikan berjalan atau tidaknya laju proyek, Junaidi menyarankan setiap pembeli mengecek surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta beberapa izin teknis lainnya. "Kalau developer yang abal-abal, tidak dilakukan semua, sehingga tidak ada," tutur Junaidi.
"Jadi, mereka ini bukan developer, tapi memang penipu," kata Junaidi sambil menambahkan bahwa pengembang asli tentunya akan terdaftar di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Untuk mengecek asli atau tidaknya sebuah developer, kata Junaidi bisa dilakukan dengan mengecek Perjanjian Kerjasama dengan Perbankan (PKS). "Jadi, setiap mau beli rumah, yang ditanyakan adalah soal legalitasnya tadi. Kemudian, PKS-nya dengan bank mana. Karena kalau sudah masuk PKS pasti ada data detail, jadi itu yang ditanya," tuturnya.
Terakhir, Junaidi juga mengingatkan agar masyarakat tak mudah tergiur dengan harga murah yang jauh di bawah standar. Harga kelewat murah adalah indikasi utama dari penipuan. "Misalnya, harga rumah Rp300 juta, dijualnya Rp150 juta. Ya, rasanya tidak mungkin," kata Junaidi.
"Atau rumah subsidi yang harganya sekarang Rp160 juta, dijual Rp100 juta. Itu tidak mungkin. Kan semua pengembang punya perhitungan, baik dari sisi pembelian lahan. Rasanya, kalau murah sekali itu bisa jadi pertanyaan, kenapa bisa semurah itu."
Ikuti seluruh Tulisan Seri edisi ini: "Kapan Mapan Papan?"