Bagikan:

Kisah Jimi dalam "Candu Sugestif Obat Kuat" menggambarkan jelas sifat sugestif penggunaan obat kuat serta efek ketergantungannya. Jika kecanduan Jimi adalah kasus ekstrem, artikel kali ini kami akan membawa kamu pada penyebab yang lebih mendasar, tentang kenapa para lelaki menggunakan obat kuat. Ternyata, ada masalah ketidakpercayaan diri yang diciptakan sendiri oleh laki-laki. Ini dia, lanjutan Tulisan Seri khas VOI, "Kuat karena Obat".

Zoya Amirin begitu antusias saat menemui kami di Tea Addict, Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Ia tahu, topik obrolan bersama kami akan amat menggugah. Di mata Zoya, ada sudut pandang keliru yang terpelihara soal seks. Sudut pandang yang menciptakan kehidupan seks menyimpang dan harus segera dibenahi.

Menurut Zoya, laki-laki telah sejak lama menempatkan diri mereka di posisi yang salah dalam kehidupan seks. Misalnya, dengan menganggap seks sebagai tanggung jawab pribadi. Melihat aktivitas seks sebagai kegiatan yang menjadi tanggung jawabnya adalah kesalahan besar yang dipupuk dan akhirnya menguat dalam pola pikir banyak laki-laki hari ini.

"Kenapa saya setuju wawancara ini karena saya mau meng-encourage mitos yang terjadi. Jadi ketidakpercayaan diri itu adalah sesuatu yang mesti diproses oleh laki-laki secara berkala," tutur Zoya yang merupakan psikolog seksual, Jumat, 10 Januari lalu.

"Setiap pria relatif percaya, kalau sudah urusan ranjang, 'sebagai laki-laki saya harus lebih tahu, saya harus lebih oke, saya harus lebih baik di ranjang.' Itu ada di semua pemikiran laki-laki," tambah Zoya.

Pola pikir macam ini tak hanya mendorong para laki-laki mencari jalan instan lewat stimulan dan obat kuat. Dalam beberapa kasus, lelaki yang tenggelam dalam besarnya rasa tidak percaya diri kerap terdorong ke dalam perilaku seks menyimpang. Pergi ke lokalisasi, misalnya. Zoya mengaku kerap menemukan laki-laki yang sengaja datang ke lokalisasi untuk menghadapi pengalaman seks pertamanya.

"Kebanyakan laki-laki, ketika remaja, dia mau belajar melakukan hubungan seksual, ya pada pekerja seks. Supaya, ketika senggama, dia tahu, dianggap dia bisa, mengerti, dan jago," kata Zoya.

Memelihara kekeliruan

Zoya memecah segala kekeliruan itu menjadi tiga perkara. Pertama, tentang dominasi. Sebagaimana dijelaskan di atas, banyak laki-laki yang menganggap diri mereka harus mendominasi aktivitas seksual. Padahal, menurut Zoya, aktivitas seks berkualitas muncul dari kerja sama laki-laki dan perempuan.

Dalam hubungan seks ideal, peran perempuan atau laki-laki sama-sama krusial. Keduanya perlu "bekerja sama" untuk mencapai orgasme. Ada atmosfer yang harus dibangun di antara laki-laki dan perempuan. Ada suasana nyaman yang perlu diciptakan untuk relaksasi pikiran.

"Proses ini membuat dia (laki-laki) merasa jantan kalau dia bisa mengontrol itu semua. Tapi, sayangnya, kalau itu hanya biologis yang bisa dikontrol dengan obat, enggak apa apa. Tapi, jangan lupa bahwa the whole about sex adalah tentang apa yang Anda pikirkan, tentang apa yang Anda rasakan," kata Zoya.

Zoya Amirin (Irfan Meidianto/VOI)

Perkara selanjutnya adalah durasi. Secara umum, laki-laki menganggap durasi sebagai perkara nomor wahid dalam seks. Hal itu tak sepenuhnya benar. Durasi adalah standar yang dibuat untuk mengidentifikasi permasalahan seksual. Ada waktu-waktu tertentu yang harus dipertahankan sepasang laki-laki dan perempuan saat berhubungan seks. Namun, yang terpenting dari segalanya adalah akurasi dalam penetrasi.

Terkait durasi, kami menemui seksolog, Dokter Boyke Dian Nugraha. Ia menunjuk angka lima menit sebagai standar minimum seks yang berkualitas. Dan tentu saja, durasi bukan tolok ukur utamanya. Dalam kurun waktu tersebut, setidaknya ada 20 hingga 40 kali penetrasi --gerakan maju mundur-- yang harus dicapai pasangan.

"Tapi, kalau minimal, sebaiknya lima menit itu sudah oke, aman. Kenapa? Karena dalam lima menit, 65 persen wanita sudah orgasme. Kemudian, dalam tujuh menit, 75 persen (wanita orgasme). Kemudian, sembilan menit, 90 persen (wanita orgasme)," tutur Boyke kepada VOI.

"Jadi, durasinya sesuai itu. Tapi kan karena (banyak orang) kurang olahraga, kurang memgonsumsi makanan sehat, kan durasinya jadi lebih pendek. Apa yang dikenal sebagai orang lain, sebagai bagian disfungsi ereksi adalah ejakulasi dini, apalagi kalau mereka sudah kurang dari tiga menit, tapi mengalami ejakulasi," tambahnya.

Perkara ketiga adalah pencarian jalan keluar. Obat kuat banyak dipilih sebagai jalan pintas bagi seseorang keluar dari masalah seksual. Boyke maupun Zoya sepakat, langkah itu salah. Bagi Zoya, misalnya. Ia mengidentifikasi kebanyakan masalah seksual pada laki-laki terjadi karena faktor psikologis. Dan obat kuat, jelas bukan solusi yang tepat.

"Jadi, katakanlah, 'it's okay, kali ini aku gagal, it's okay. Enggak apa gue gagal tapi gue mencari tahu (kenapa gagal) ... Supaya besok lagi saya bisa menikmati seksualitas saya dan memuaskan pasangan saya. Saya akan mencari tahu bagaimana caranya," kata Zoya.

Bagi Boyke, memperbaiki pola hidup adalah kunci. Boyke sendiri mengaku tetap mengedepankan perubahan perilaku secara alamiah untuk menangani persoalan vitalitas pasien yang datang ke kliniknya: Klinik Pasutri. Pun jika ada treatment yang perlu dilakukan, Boyke akan mengedepankan fisioterapi dan penggunaan bahan herbal.

"Jadi kita lebih kepada konseling, menerapkan pola hidup sehat, obat-obatan herbal, fisioterapi itu satu paket supaya sembuh tidak ketergantungan pada obat," kata Boyke.

Wawancara tim VOI bersama Dokter Boyke (Irfan Meidianto/VOI)

Di zaman sekarang, obat kuat muncul karena kebutuhan. Zaman mendorong orang hidup dengan pola yang tak sehat. Rutinitas dan kesibukan menyingkirkan kebiasaan berolahraga. Lalu-lalang manusia dan perkembangan transportasi secara ajaib bukannya menambah daya gerak manusia, tapi malah menguranginya. Hal-hal semacam ini turut memengaruhi kemampuan seksual laki-laki.

"Jadi, begini, laki-laki di Indonesia ini sudah tidak sehat. Pola hidupnya tidak sehat. Pertama, makanannya. Apalagi pekerja milenial yang pulang malam itu makanannya sudah pasti instan," tutur Boyke.

"Kemudian, dia kurang berolahraga. Apalagi kalau di Bekasi. Dia tinggalnya di around Jakarta, pulang malam pasti enggak sempat berolahraga. Kemudian makanannya. Kemudian stresnya berkepanjangan," tambah Boyke.

Artikel Selanjutnya: Bagaimana Industri Obat Kuat Membentuk Persepsi soal Seks Ideal