Kasus Dugaan Mafia Tanah, Oknum Penyidik Polda Disidang Kode Etik

JAKARTA - Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Metro Jaya menggelar sidang Komisi Kode Etik Profesi Polri terhadap dua mantan penyidik di Subdit Harda Direktorat Reserse Kriminal Umum. Sidang itu berkaitan dengan dugaan pelanggaran kode etik dalam penyidikan sengketa perdata yang dipaksakan ke ranah pidana.

Kedua oknum itu yakni, AKP Niluh Sri A dan Bripka Wahyu. Mereka merupakan tim yang sama dengan mantan Kasubdit Harda AKBP M Gafur Aditya Harisada Siregar yang disebut turut menjalani sidang kode etik dalam kasus yang sama. Di mana, AKBP Gafur saat ini merupakan Kapolres Kotabaru.

Dalam sidang yang digelar Kamis, 28 Oktober, dihadirkan juga saksi pelapor yaitu R Lutfi selaku pihak yang ditersangkakan dan Aldrino Lincoln, saksi sekaligus kuasa hukum R Lutfi.

Pada persidangan itu, Aldrino dan Lutfi dikonfrontir langsung dengan AKP Niluh dan Bripka Wahyu terkait proses penyidikan perkara memasuki pekarangan tanpa izin yang berhak, sebagaimana dimaksud dalam pasal 167 KUHP.

Dalam kasus itu, Lutfi ditersangkakan atas dugaan masuk pekarangan orang lain. Padahal, bangunan yang berada di Jalan Pecenongan No. 40, Jakarta Pusat, merupakan miliknya secara turun temurun sejak 1947. Secara legalitas bangunan itu telah tercatat di BPN Kota Jakarta Pusat.

Namun kemudian PT Multi Aneka Sarana (PT MAS) tiba-tiba mengklaim tanah tersebut miliknya dengan dasar legalitas SHGB no 1444/Kebon Kelapa yang diterbitkan oleh kantor BPN Kota Jakarta Pusat pada 31 Maret 1989 kepada PT Perkebunan XI yang notabene berstatus sebagai penyewa di tanah keluarga Lutfi.

Disebutkan dalam SHGB itu bahwa riwayat penerbitannya berasal dari tanah negara bekas HGB No 130, 131, 132, 134, 142/Kebon Kelapa dengan Eigendom Verponding nomor 20850, 20847, 8387, 20851, dan 21896 yang ternyata tak satu pun berkesesuain dengan lokasi tanah milik keluarga Lutfi.

Faktanya, meski tidak berkesesuaian alas hak, penyidik polda, dalam hal ini AKBP Gafur Siregar, AKP Niluh Sri, dan Bripka Wahyu tetap memproses laporan PT MAS dan mentersangkakan Lutfi. Padahal perkara Lutfi ini sebelumnya sudah pernah dihentikan penyidikannya oleh Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Atas kewenang-wenangan inilah kemudian Lutfi melaporkan ketiganya ke Propam Polda Metro Jaya.

Usai pemmeriksaan, Lutfi kepada wartawan berharap sidang kode etik mampu memunculkan kebenaran atas kasus yang menersangkakannya.

“Semoga hukum bisa tegak dengan benar. Kita tiba-tiba ditersangkakan masuk pekarangan orang. Padahal kami tinggal di tanah itu sudah turun temurun dan ada legalitas hukumnya,” tegas Lutfi.

Adapun Aldrino yang turut diperiksa sebagai saksi sekaligus kuasa hukum Lutfi menambahkan pihaknya telah memberikan keterangan dalam kapasitas sebagai saksi sekaligus kuasa hukum seputar fakta-fakta yang dimaksud dalam laporan Lutfi.

“Yang disidang hari ini AKP Niluh Sri dan Bripka Wahyu selaku penyidik dan penyidik pembantu dalam kasus yang menersangkakan klien saya,” timpal Aldrino.

Seperti diketahui, dalam proses penyelidikan dugaan pelanggaran kode etik oleh AKBP Gafur Cs di Paminal Polri, seperti tertuang dalam surat pemberitahuan perkembangan hasil pemeriksaan propam (SP2HP2) tertanggal 12 Oktober 2020 yang ditandatangani Brigjen Nanang Avianto, saat ini sudah berpangkat inspektur jenderal (Irjen), dengan tegas disebutkan: “Ketika dilakukan gelar peningkatan status tersangka terhadaap terlapor (Lutfi), penyidik belum melakukan pemeriksaan secara menyeluruh terhadap pihak-pihak yang terkait dengan perkaranya yakni: Dinas Perumahan Pemda DKI Jakarta, Direksi PTPN XI (pemilik asal SHGB no.1444) dan Tim AKBP Gafur Siregar sendiri akhirnya disidangkan di Biro pertanggungjawaban profesi (wabprof) pada 5 Agustus 2021 lalu.

Hanya saja Wabprof tidak pernah memberitahukan hasil persidangan tersebut kepada R.Lutfi, sebagaimana Paminal Polri selalu mengirimkan Salinan SP2HP kepada pihak pelapor. AKBP Gafur Siregar justru mendapat promosi jabatan menjadi Kapolres Kota Baru, Kalimantan Selatan.

Atas hal ini sejumlah pakar hukum berkomentar keras. Pakar hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Profesor Mudzakir mendorong Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Mabes Polri menelisik motivasi dan kepentingan di balik keputusan mantan Kasubdit Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Gafur Siregar membuka kembali penyidikan perkara yang sudah dihentikan penyidikannya (SP3).

Dalam ilmu hukum pidana kata Mudzakir jika sebuah objek yang disidik itu tidak termasuk perbuatan pidana, maka proses penyidikan mutlak tidak bisa dibuka kembali. Pasalnya, sudah disimpulkan sebagai bukan perbuatan pidana, atau dikenal dengan SP3 permanen. Yang kedua, jika SP3 disebabkan karena kurang cukup bukti, maka penyidikan bisa dihentikan demi kepastian hukum.

“Pertanyaan berikutnya adalah apakah SP3 ini bisa dibuka kembali? Prinsipnya tidak bisa dibuka kembali, kecuali ada satu hal yang disebut sebagai alat bukti baru yang dikenal sebagai novum. Yang dimaksud dengan novum bukan sekedar alat bukti baru, melainkan novum yang mampu membuka unsur-unsur tindak pidana menjadi terpenuhi,” tukasnya.

Belum ada komentar dari kepolisian terkait sidang kode etik dan profesi di Bidang Propam Polda Metro Jaya. Kabid Propam Polda Metro Jaya, Kombes Bhirawa hingga kini belum merespon klarifikasi diajukan wartawan.