Kementerian Agama untuk Semua Agama, Kata Wahid Hasyim

JAKARTA - Sejarah lahirnya dasar negara Indonesia tak lepas dari peran K.H. Abdul Wahid Hasyim. Ia salah satu otak perumusan Pancasila dan Piagam Jakarta. Sebagai bagian dari Panitia Sembilan, Wahid Hasyim memiliki andil meloloskan narasi sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Gebrakan berlanjut. Kala menjabat Menteri Agama, ia berdiri tegak untuk semua agama.

Cikal bakal kemerdekaan bangsa Indonesia tak terlepas dari peran BPUPKI. Kemunculan BPUPKI adalah buah perjuangan kaum bumiputra lepas dari belenggu penjajahan Jepang. Nama besar, seperti Rajiman Wediodiningrat, Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Wahid Hasyim jadi anggota yang paling diingat.

Kehadiran tokoh-tokoh itu dianggap mewakili lintas aliran pemikiran. Sebagai anggota BPUPKI, mereka memiliki tugas masing-masing. Tugas-tugas itu meliputi perumusan bentuk negara, batas negara, hingga dasar falsafah negara.

Sidang pertama BPUPKI dilangsungkan 29 Mei-1 Juni. Sidang tersebut berlangsung hangat. Anggota BPUPKI yang hadir mencapai 68 orang. Buahnya, peristiwa bersejarah berhasil ditorehkan pada 1 Juni.

Dalam sidang istimewa itu Soekarno mengemukakan doktrin pancasila “lima dasar” yang kemudian jadi falsafah resmi Indonesia yang merdeka: kebangsaan, perikemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan, dan Ketuhanan. Setelahnya muncul usulan supaya Indonesia bernapaskan Islam. Usulan itu langgeng dikenal sebagai Piagam Jakarta.

Sidang BPUPKI (Sumber: Commons Wikimedia)

“Walaupun dasar-dasar ini pada umumnya diterima oleh anggota anggota BPUPKI, akan tetapi para pemimpin Islam merasa tidak senang karena Islam tampaknya tidak akan memainkan peranan yang istimewa. Akhirnya, mereka menyetujui suatu kompromi yang disebut Piagam Jakarta yang menyebutkan bahwa negara akan didasarkan atas ‘ketuhanan’ dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."

"Implikasi Piagam Jakarta terhadap hubungan antara syariat Islam dan negara menjadi sumber pertentangan pertentangan sengit di tahun-tahun mendatang,” tulis Sejarawan M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2005).

Sebagai tindak lanjut, segenap anggota BPUPKI membentuk Panitia Sembilan. Soekarno dipilih sebagai pemimpin dari kompromi politik tersebut. Sementara anggotanya adalah Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Moezakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Mohammad Yamin. Panitia ini bertujuan untuk memastikan dan mendapatkan keputusan atas gagasan sebelumnya mengenai perumusan dasar negara.

“Di antara sembilan orang ini terdapat tokoh Kristen moderat dan toleran, yaitu A.A. Maramis, sedangkan delapan yang lain beragama Islam, sekalipun mungkin berbeda ideologi politik. Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo, dan Yamin mewakili ideologi politik nasionalisme.”

“Sedangkan Abikoesno, Kahar Moezakir, Salim, dan Wahid Hasyim adalah pendukung aspirasi politik Islam. Empat terakhir ini bila dilihat dari sisi pandangan islam, akan didapat gambaran sebagai berikut: Abi-kusno berasal dari SI, Kahar Moezakir dari Muhammadiyah, Salim dari PI Penyedar, dan Wahid Hasyim dari NU,” ujar Ahmad Syafii Maarif dalam buku Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (1996).

Perdebatan sengit

Kompromi politik atas dua pola pemikiran –nasionalis dan islam— berlangsung sengit selama 21 hari. Pada 22 Juni, Panitia Sembilan menyetujui Pancasila sebagai dasar negara. Tapi urutan silanya mengalami perubahan.

Perihal “Ketuhanan yang Maha Esa” muncul sebagai yang paling utama. Hal itu turut diberikan kalimat pengiring “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Piagam Jakarta akhirnya disahkan sebagai Mukaddimah UUD 1945. Namun kompromi tersebut hanya bertahan selama 57 hari atau tepat pada 18 Agustus 1945. Pengiring kalimat yang terdiri dari tujuh atau delapan perkataan di atas dianggap diskriminatif oleh sejumlah kaum bumiputra di belahan Timur.

Perbedaan pandangan itu memperpanjang perbedatan. Apalagi, baik Kahar Moezakir dan Ki Hadikusumo tetap bersikukuh meloloskan Piagam Jakarta agar disetujui. Jika tidak keduanya mengusulkan segala acuan perihal agama Islam sebaiknya dihapuskan seluruhnya dari Piagam Jakarta.

Ketegangan itu membuat Soekarno sebagai pemimpin Panitia Sembilan tak bisa tidur. Namun, tokoh NU yang juga ayah dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Wahid Hasyim bertindak sebagai penengah. Ia mencoba menjembatani antara tuntutan kelompok Islam dan kelompok Nasionalis.

Keluarga Wahid Hasyim (Sumber: Commons Wikimedia)

Wahid Hasyim berhasil meyakinkan tokoh Islam memilih persatuan Indonesia. Dengan demikian, tujuh kata pengiring berhasil dihilangkan. Presiden juga wakilnya tak harus beragama Islam.

“Demi menjaga keutuhan bangsa pada saat-saat genting ini, mereka setuju untuk menghapuskan rujukan pada agama Islam dalam teks Mukaddimah Undang-Undang Dasar. Sebagai gantinya, Wahid Hasyim mengusulkan agar Piagam Jakarta diganti dengan rumusan Yang Maha Esa, penambahan kata Esa menggarisbawahi keesaan Tuhan (tauhid) yang tidak terdapat pada agama lain.“

“Dengan demikian, Indonesia tidak menjadi negara Islam, namun menjadi negara monoteis. Presiden harus diangkat dari orang Indonesia asli, tanpa ketentuan jelas mengenai agamanya. Presiden, juga Wakil Presiden, bebas memilih upacara pengambilan sumpah jabatan, secara keagamaan atau janji,” ungkap Andrée Feillard dalam buku NU vis-à-vis Negara: Pencarian Isi, bentuk dan Makna (1999).

Kementerian Agama untuk semua agama

Boleh jadi secara paripurna perdebatan terkait Piagam Jakarta telah berakhir. Tapi kaum bumiputra yang mayoritas Muslim telah kadung kecewa karena syariat Islam tak diloloskan. Pemeluk Islam menginginkan adanya suatu kementerian yang istimewa, Kementerian Agama (Kemenag), yang mana saat itu secara khusus mengatur kepentingan agama Islam sendiri, sebagaimana dikemukakan Muhammad Yamin pada 11 Juli 1945.

Usulan itu juga didukung Wahid Hasyim. Dalam pandangannya, Kemenag begitu dibutuhkan untuk mengurusi persoalan-persoalan terkait agama. Wahid Hasyim menyadari banyak pihak yang menganggap Kemenag tak perlu dibentuk.

Lagipula banyak yang menghendaki pemisahan antara agama dan negara. Tapi dalam praktiknya justru berlainan. Anak pendiri NU, K.H. Hasyim Asy’ari melihat soal-soal agama tak bisa dilepas dari kehidupan bernegara. Baginya agama laksana kompas dalam berkehidupan bernegara.

"Pada waktu itu orang berpegang pada teori bahwa agama harus dipisahkan dari negara. Pikiran orang pada waktu itu, di dalam susunan pemerintahan tidak usah diadakan kementerian tersendiri yang mengurusi soal-soal agama. Begitu di dalam teorinya. Tetapi di dalam prakteknya berlainan."

"Setelah berjalan dari Agustus hingga November tahun itu juga (1945), terasa sekali bahwa soal-soal agama yang di dalam prakteknya bercampur dengan soal-soal lain di dalam beberapa tangan (departemen) tidak dapat dibiarkan begitu saja. Dan terasa perlu sekali berpusatnya soal-soal keagamaan itu di dalam satu tangan (departemen) agar soal-soal demikian itu dapat dipisahkan (dibedakan) dari soal-soal lainnya.”

“Oleh karena itu, maka pada pembentukan Kabinet Parlementer yang pertama, diadakan Kemenag. Model Kemenag ini pada hakikatnya adalah jalan tengah antara teori memisahkan agama dari negara dan teori persatuan agama dan negara," terang Wahid Hasyim dalam bukunya Sedjarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar (1957).

K.H. Wahid Hasyim (Sumber: Wikimedia Commons)

Pada akhirnya usulan segenap tokoh Islam membentuk Kemenag mendapat restu pemerintah Indonesia. Wahid Hasyim yang mewakili NU dipilih sebagai Menteri Agama RI pertama. Namun, dalam kabinet Sjahrir II posisinya digantikan oleh tokoh Muhammadiyah, H.M. Rasjidi pada 3 Januari 1946.

Seiring berjalannya waktu, kemunculan Kemenag mendapat kritik dari banyak pihak. Kemenag dituduh hanya hadir untuk umat Islam belaka. Sementara umat lainnya tak begitu mendapat perhatian. Kritikan itu bertahan cukup lama. Pergantian menteri tak membuat narasi Kemenag “hadiah untuk umat Islam berubah.

Baru setelah Wahid Hasyim kembali menjabat sebagai Menteri Agama empat tahun kemudian narasi itu berubah. Wahid Hasyim membungkam kritik dengan menggelorakan narasi “Kemenag hadiah untuk Islam” semata, tetapi Kemenag berdiri untuk semua agama.

“Pada masanya dengan tegas dinyatakan kepada kelompok-kelompok yang tidak merasa nyaman atas keberadaan Kemenag, yakni dari kelompok sekuler dan non-Muslim dengan mengatakan, bahwa keberadaan Kemenag bukan ditujukan untuk menegakkan syariat Islam sebagai dasar, mendirikan negara Islam, atau untuk melayani kepentingan umat Islam saja, melainkan untuk memperkuat NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).”

“Dan mencapai tujuannya, yakni mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Wahid Hasyim menegaskan bahwa Kementerian Agama bukanlah kementerian bagi umat Islam saja, tetapi bagi semua pemeluk agama. Apa yang dilakukan Wahid Hasyim ternyata berhasil membungkam mereka yang mengritik keberadaan kementerian inu sehingga ia tetap bertahan,” tutup Abbudin Nata dalam buku Pendidikan Islan Di Era Milenial (2020).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.

MEMORI Lainnya