Anggota Komisi IX DPR RI Pertanyakan Alasan Vaksin Sinovac Diuji Coba di Bandung, Bukan di China

JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay mempertanyakan alasan vaksin COVID-19 hasil kerja sama Bio Farma dan perusahaan farmasi dari China, Sinovac diujicobakan di Bandung, Jawa Barat.

Menurut dia, vaksin COVID-19 tersebut sebaiknya diuji coba dulu di negara asalnya baru kemudian dijual di Indonesia.

"Ini kan mau diuji cobakan ke manusia, ada 1.620 yang akan diuji cobakan. Pertanyaannya mengapa harus ke Bandung. Kenapa enggak bisa dilakukan di China saja," tegas Saleh dalam sebuah acara diskusi yang ditayangkan secara daring di YouTube, Minggu, 26 Juli.

Menurut dia, hal ini penting untuk dijelaskan kepada masyarakat. Selain untuk memastikan keamanan dari 1.620 orang relawan yang akan disuntikkan vaksin tersebut, hal ini penting agar masyarakat tidak mempresepsikan para relawan tersebut sebagai kelinci percobaan bagi vaksin tersebut.

"Jadi jelaskan juga kenapa harus di Bandung. Jangan sampai presepsi publik nanti, lah, ini China datang menjadikan kita kelinci percobaan," tegasnya.

Selain itu, politikus Partai Amanat Nasional (PAN) ini mempertanyakan mengapa pemerintah Indonesia memilih vaksin dari perusahaan Sinovac untuk diuji klinis dan segera diproduksi. Padahal, kata dia, Indonesia saat ini juga sudah mengembang vaksin sendiri yang tidak bekerja sama dengan pihak manapun.

"Ini harus kita urai karena barang-barang yang datang dari China harus bisa menyejahterakan rakyat kita. Semua hal yang datang dari China, bukan hanya vaksin. Jadi ini ditanyakan, apakah ini benar-benar bermanfaat atau hanya sebagai pasar saja," ungkapnya.

Menjawab pernyataan tersebut, Corporate Secretary Bio Farma, Bambang Heriyanto menjelaskan kemampuan Sinovac untuk meneliti vaksin tersebut secara cepat menjadi alasan pemerintah memilih bekerja sama dengan perusahaan farmasi tersebut. 

"Di dunia ada 140 institusi yang melakukan penelitian vaksin COVID-19 tapi baru beberapa bahkan di bawah 10 jari yang sudah masuk ke dalam fase tiga salah satunya adalah Sinovac," tegas Bambang.

Menurut dia, Indonesia saat memang saat ini memilik beberapa skenario terkait pengembangan vaksin untuk melawan pandemi COVID-19. 

Pertama adalah melakukan kerja sama dengan perusahaan yang sudah ahli di bidangnya. Kerja sama ini, sambung Bambang, berguna untuk melaksanakan tranfer teknologi.

"Jadi short term kita coba untuk mendapatkan akses dari teknologinya (kerja sama dengan Sinovac, red). Jadi tidak sekadar beli vaksin, kita sekaligus transfer teknologi," ujarnya.

Sementara skenario kedua adalah melaksanakan penelitian sendiri tanpa bekerja sama dengan pihak lain. Hanya saja, untuk skenario kedua ini akan membutuhkan waktu yang lebih lama. 

Mengingat, konsorsium riset vaksin yang dipimpin oleh Lembaga Molekuler Eikjman baru diperkiran mendapat kandidat vaksin di tahun 2021 mendatang.

"Kandidat, bukan vaksinnya. Kandidat masih jauh dari tahap uji klinis dan tahapannya begitu. ... Vaksin asli RI lengkap akhir tahun 2020. Jadi yang paling cepat ya Sinovac, Sinovam, dan lainnya," katanya.

Lebih lanjut, mengenai alasan uji klinis dilakukan di Bandung, Jawa Barat, Bambang menjelaskan uji klinis memang kerap dilakukan di luar negara tempat pembuatan vaksin. 

Dia mencontohkan, Indonesia pernah melakukan uji klinis di beberapa negara seperti Kenya, Belgia, dan Panama. "Dan tidak ada orang Eropa yang menyatakan mereka sebagai kelinci percobaan," ungkap Bambang.

Lagipula, sambung dia, vaksin hasil kerja sama Bio Farma dan Sinovac ini sudah menjalankan fase pertama dan kedua di China. 

Fase pertama dan kedua ini, kata Bambang, merupakan fase yang berkaitan dengan keamanan vaksin di fase ketiga atau uji klinis.

Senada dengan Bambang, Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono juga menyatakan keamanan dari vaksin itu diuji coba di fase pertama dan kedua.

"Jadi kalau tidak lolos ke fase satu dan fase dua enggak mungkin bisa lolos ke fase ketiga walaupun dalam kondisi mendesak," jelas Pandu.

Pada fase ketiga, kata Pandu, kalaupun ada efek samping yang dialami oleh relawan yang ternyata tidak ada di fase pertama dan kedua maka pengujian bisa dihentikan. 

"Misalnya ada yang sampai meninggal. Makanya harus ada board yang independen untuk memonitoring efek samping ini harus dibentuk tim Unpad (FK Universitas Padjajaran, red). Jadi tim ini bisa bilang penelitian berhenti jika ada efek sampingnya," pungkasnya.