Romansa Des Indes sebagai Hotel Terbaik di Belahan Timur

JAKARTA - Semasa penjajahan Belanda, Jakarta tercatat pernah memiliki sebuah hotel yang begitu mewah dan dipuja-puji banyak orang. Saking mewahnya, hotel itu dijuluki "The Finest Hotel In The East". Hotel Des Indes namanya. Guruh Soekarnoputra bahkan membuat sebuah lagu yang amat memikat tentang Hotel Des Indes.

>

Bagi pelancong luar negeri, Hotel Des Indes adalah kesan yang selalu melekat. Antropolog kesohor asal Inggris, Alfred Russel Wallace pernah mengutarakan kekaguman terhadap hotel di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat itu.

Lewat mahakarya berjudul The Malay Archipelago (1869), Wallace menceritakan pengalamannya berkunjung ke Batavia pada 1861. Kala itu Wallace menginap di Hotel Des Indes. Beberapa hari di Des Indes, Wallace mengaku nyaman. Ia memuji bagaimana hotel menyediakan ruang duduk dan tempat tidur terbuka mengarah ke beranda.

“Pengunjung juga bisa menikmati kopi dan minum teh di pagi hari ... Di tengah gedung terdapat ruang terbuka berbentuk segi empat dan sebuah bagunan berdiri di situ,” ungkap Wallace.

“Bangunan itu berisi sejumlah kamar mandi berdinding marmer yang siap pakai. Di sana juga ada hidangan table d’hote yang lezat pada jam 10 pagi dan makan malam pada jam 6 sore. Harga yang dikenakan setiap hari untuk hidangan tersebut tidak terlalu mahal.”

Tak hanya Wallace. Serdadu Belanda yang datang ke Hindia-Belanda pada awal abad 20, H.C.C Clockener Bousson juga menuturkan kenangan akan Hotel Des Indes. Dalam buku Batavia Awal Abad 20 (2004), Bousson menceritakan perbincangannya dengan seorang kepala kondektur trem yang ia tumpangi.

Sang kepala kondektur mengatakan, meski tergolong mewah dan bergengsi, harga Hotel Des Indes sejatinya terhitung murah. “Di Singapura, saya harus membayar 17 golden per hari. sedangkan harga-harga di Des Indes per hari bervariasi. Tergantung dari jenis dan besar kamar. Tapi, harga hanya berkisar antara 6-10 gulden dan itu sudah termasuk makan,” ungkap Bousson.

Keramaian di sekitar Hotel Des Indes (Sumber: Wikimedia Commons)

Pujian lain juga diutarakan surat kabar luar negeri, Japan Chronicle, dalam salah satu terbitan tahun 1907. Merekalah yang menobatkan Des Indes sebagai hotel terbaik di timur. Salah satu sorotan utama juga diberikan kepada Johan Matinus Ganvoort, Manajer Hotel Des Indes.

Ganvoort disebut berhasil mengelola Des Indes dengan sangat baik. Segala fasilitas Des Indes bahkan disebut-sebut setara dengan hotel-hotel mewah di New York dan London.

“Begitu pula dengan para staf, termasuk para mandor dan jongens (jongos) yang melayani dan siap dengan berbagai bahasa: Prancis, Inggris, Jerman. Sehingga tidak mengherankan jika mereka (orang Belanda) yang pernah ke Jawa seolah ‘lupa’ dan tak ingin kembali ke Eropa,” tulis Achmad Sunjayadi dalam buku Pawisata di Hindia-Belanda 1891-1942 (2019).

Menariknya, Achmad juga tak lupa mengutip pendapat pelancong bernama Thomas Reid. Pelancong tersebut pernah menginap di Des Indes pada awal abad ke-20 dan langsung terpukau dengan pelayanan yang didapatnya selama menginap.

“(Des Indes) memiliki sesuatu untuk dipelajari dalam hal akomodasi tamu, kebersihan umum, dan kewajaran harga. Namun, tidak ada yang dapat mengalahkan kesantunan dan perhatian manajemen Hotel Des Indes di Batavia. Dan Mr. Gantvoort, manajer Hotel Des Indes yang santun,” kutip Achmad.

Berdirinya Des Indes

Hotel Des Indes (Sumber: Wikimedia Commons)

Hotel Des Indes berdiri di atas lahan milik Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Reiner de Klerk (1777–1780). Saat De Klerk menjual tanahnya pada 1774, lahan itu berpindah tangan ke beberapa pejabat Belanda. Perlahan, pada 1829 muncul sebuah hotel untuk kali pertama di atas bekas tanah De Klerk.

Kala itu, nama hotel tersebut masih Hotel Chaulan. Nama itu diambil dari nama belakang sang pemilik, Surleon Antoine Chaulan, pria berkebangsaan Prancis. Merasa kurang hoki, nama itu diubah menjadi Hotel de Provence pada 1835, sebelum kembali berganti nama menjadi Het Rotterdamsch Hotel (Hotel Rotterdam) pada 1851.

Kelak, setahun kemudian, Auguste Emile Wijss membeli Hotel Rotterdam dari tangan Chaulan dengan harga 40 ribu gulden. Barulah pada 1856, di tangan Wijss, Hotel Des Indes lahir. Namun, tanpa alasan jelas, Wijss menjualnya kepada Louis Cressonnier. Cressonier menjadi pemilik hotel itu hingga 1880. Akhirnya, kepemilikan hotel kembali berpindah tangan. Kali ini kepada Jacob Lugt.

Walau beberapa kali berpindah tangan, Des Indes tak pernah kehilangan kekuatan pada pelayanan. Fadly Rahman, dalam buku Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942 (2016) menjelaskan bagaimana rijsttafel menjadi benang merah yang terus menerus mengangkat gengsi Des Indes. Hotel mewah itu bahkan disebut pionir sajian makanan mewah rijsttafel.

Sebagaimana yang pernah kami tulis dalam artikel Rijsttafel: Ketika Eksklusivitas dan Kemewahan Dongkrak Pariwisata Hindia-Belanda. Istilah rijsttafel secara sederhana dikenal dengan "rice table". Dalam definisi lengkapnya, rijsttafel adalah konsep jamuan makanan atau penyajian perpaduan makanan lengkap ala Indonesia dan Eropa. Dalam tahapannya, prosesi makan diawali dengan makanan pembuka, menu utama, dan diakhiri penutup.

Restoran di Hotel Des Indes (Sumber: Wikimedia Commons)

Uniknya, hingga dasawarsa ketiga abad ke-20, Hotel Des Indes masih dianggap sebagai hotel dengan penyajian rijsttafel terbaik. “Pelayanan mewah dan memikat menjadi daya tarik tersendiri bagi para tamu yang menikmati suasana makan di ruang makan hotel itu,” imbuh Fadly.

Hotel Des Indes juga jadi saksi berbagai peristiwa sejarah, terutama di periode pasca-kemerdekaan. Pada 1950, misalnya. Des Indes pernah menjadi tempat di mana Presiden Soekarno memperkenalkan lambang negara kepada seluruh rakyat Indonesia.

Namun, kejayaan Des Indes berakhir di awal 1970-an. Hotel yang dulunya banyak ditempati korps diplomatik dan tamu asing itu dibongkar dan dijadikan pertokoan Duta Merlin. Hotel yang banyak diidamkan menjadi cagar budaya itu takluk dengan kebijakan pemerintah kala itu.

Tak banyak cara mengenang Des Indes hari ini. Lewat rangkaian foto lawas, barangkali. Atau dengan lagu masyhur dari Guruh Soekarnoputra. Dalam penggalan lirik lagu memorial itu Guruh menegaskan bagaimana Des Indes sempat dikenal luas sebagai tempat kaum feodal dan priyayi berdansa menebar keriaan.

Tempo sore berbintang diatas kota

Koe pigi ke Hotel Des Indes

Didalemnja ada soeatoe pesta ria

Sajang koe dateng sendirian...