Strategi Pemerintah dalam Pemanfaatan Utang di Masa Pandemi COVID-19

JAKARTA - Pemerintah telah menyiapkan sejumlah strategi pengelolaan utang. Dalam menjalankan kebijakan pembiayaan utang ini, ada beberapa prinsip dasar yang dijalankan oleh pemerintah.

Adapun komponen pembiayaan utang terdiri dari pinjaman dan surat berharga negara (SBN) dan pinjaman luar negeri. Pemerintah semaksimal mungkin tetap melakukan pengendalian risiko agar utang dalam batasan aman dan tidak mengganggu sustainabilitas (going concerns) dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Salah satu upaya pengendalian yang dijalankan Pemerintah adalah dengan tetap memperhatikan rasio utang agar tetap terkendali dan memenuhi aspek kepatuhan (compliance) yaitu tidak melampaui batas maksimal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara sebesar 60 persen terhadap PDB.

"Dalam masa pandemi seperti saat ini, penerimaaan pajak belum optimal, penerimaan negara belum kuat, maka utang menjadi opsi," jelas Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo, dalam webinar dengan judul "Pemanfaatan Utang bagi Anak Cucu Kita" yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP), Kamis 7 Oktober.

Menurut Yustinus, utang hanya alat dan bukan tujuan pemerintah. Dalam masa darurat seperti pandemi COVID-19 seperti saat ini, utang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan atau pemanfaatan yang mendesak.

"Sehingga pemerintah bisa menjalankan fungsi dalam waktu cepat atau darurat," sambungnya.

Sedangkan, Dosen Ekonomi Institut Pertanian Bogor, Iman Sugema menilai kondisi ekonomi Indonesia cenderung lebih baik dari negara-negara lain di masa pandemi.

"Saat ini negara-negara di dunia jor-joran menggenjot defisit. Di seluruh dunia penerimaan negara relatif menurun. Tuntutan mendoroang perekonomian sangat dibutuhkan, defisit melebar. sehingga pemerintah mencetak utang," katanya.

Disebutkan, kinerja fiscal measures dan attack rate COVID-19 di antara negara G-20 lainnya, Indonesia termasuk beruntung.

"Kondisi fiscal measures terhadap GDP yang relatif rendah, dan attack rate yang rendah dibandingkan Singapura dan Australia," kata Iman.

Selain itu, Indonesia juga tidak mengalami kontraksi ekonomi yang parah dibandingkan negara lain.

"Pertumbuhan ekonomi bersama India, China, Turki, dan Vietnam, kontraksi ekonomi Indonesia relatif lebih kecil dari negara lainnya," ucapnya.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyampaikan bahwa ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan utang negara.

"Berutang tak ada masalah, asal bisa digunakan dengan baik," katanya.

Yusuf juga mengapresiasi pemerintah yang selama ini memang dapat mengelola rata-rata jatuh tempo utang dan risiko volatilitas dari penerbitan utang valas di level yang terjaga.

"Setelah pandemi berakhir, utang menjadi problem di berapa negara. Sudah diprediksi," sambungnya.