JAKARTA - Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Riza Annisa Pujarama meminta kepada pemerintah untuk mengevaluasi penggunaan utang terhadap hasil return yang didapat dari penarikan pinjaman tersebut. Sebab, selama ini masyarakat tidak mengetahui alokasi penggunaan utang tersebut serta dampak bagi perekonomian dan pembangunan.
Riza berujar bahwa utang pemerintah pusat terus meningkat setiap tahunnya. Kondisi ini diperburuk dengan pandemi COVID-19 karena pemerintah membutuhkan banyak belanja untuk menangani dampak pandemi.
Mengingat jumlah utang yang dipinjam tak sedikit, ia menilai pemerintah perlu memastikan bahwa dana yang bersumber dari utang digunakan secara efektif.
"Jadi selama ini utang full dari SBN (surat berharga negara), tapi kita tidak tahu utang SBN yang mana digunakan untuk apakah infrastruktur, pendidikan, atau belanja sosial lainnya. Itu perlu assessment apakah penggunaan utang itu efektif dan seusai dengan output sehingga utang pada gilirannya menjadi produktif dan bisa dikembalikan kepada pemerintah dalam bentuk pajak," katanya dalam diskusi Kemerdekaan dan Masa Depan Ekonomi Bangsa, Selasa, 10 Agustus.
Riza mengatakan di masa pandemi COVID-19 pendapatan negara berkurang. Sehingga defisit anggaran pendapatan belanja negara (APBN) melebar. Kenaikan utang ini, sejalan dengan peningkatan rasio utang terhadap PDB.
Menurut Riza, per Juni 2021 lalu, utang pemerintah pusat mencapai Rp6.554,56 triliun, sedangkan rasio utang terhadap PDB mencapai 41,35 persen.
"Rasio utang terhadap PDB karena defisit fiskal meningkat, maka otomatis penarikan utang meningkat, terutama pada pandemi COVID-19. Banyak negara yang melakukan utang dan itu dilakukan hampir semua negara untuk stimulus perekonomian dan bantuan sosial kepada masyarakat," tuturnya.
Meski begitu, Riza menyoroti bahwa utang yang diambil pemerintah pusat sebagian digunakan untuk membayar beban bunga utang sendiri. Kondisi ini tercermin dari keseimbangan primer yang terus mengalami defisit sejak 2012 lalu.
BACA JUGA:
Kata Riza, sepanjang 2021 ini, keseimbangan primer diprediksi defisit Rp633,11 triliun.
"Keseimbangan primer kita sejak 2012 tidak pernah positif. Artinya kita gali lubang tutup lubang, membayar utang dengan utang baru," ucapnya.
Riza juga memperingatkan potensi kemampuan fiskal negara tidak fleksibel ke depannya. Hal ini karena komponen belanja operasional seperti belanja pegawai dan barang sangat tinggi di dalam APBN. Pada APBN 2020, komposisi belanja pegawai mencapai 20,8 persen dan belanja barang 23 persen.
Sementara, lanjut Riza, persentase pos belanja lainnya, seperti belanja modal, bantuan sosial, subsidi, dan hibah di bawah persentase tersebut. Di sisi lain, persentase belanja untuk pembayaran bunga utang juga bertambah.
"Jadi, hampir 40 persen lebih habis untuk belanja operasional, sementara itu kita lihat belanja bunga utang komposisinya meningkat di 2021 angkanya mencapai 19,1 persen. Ini artinya bahwa kemampuan fiskal kita untuk fleksibilitas fiskal semakin melemah," jelasnya.