Wamenkum HAM Ingatkan Pejabat Publik Waspadai Gratifikasi
JAKARTA - Wakil Menteri Hukum dan HAM, Prof Edward Omar Sharif Hiariej, mengingatkan para pejabat publik untuk mewaspadai gratifikasi karena masuk kategori praktik korupsi.
Para pejabat publik disebut Edward Omar harus tetap berintegritas, transparan, dan mempertahankan akuntabilitas dalam menjalankan tugasnya.
“Integritas adalah kunci utama dalam pencegahan korupsi,” kata dia dikutip Antara, Selasa, 5 Oktober.
Ia menyebut Konvensi PBB Anti-Korupsi sepakat bahwa integritas, transparansi, dan akuntabilitas merupakan faktor penting memerangi rasuah. Dalam sesi Lokakarya Menuju Zona Integritas di Graha Pengayoman, Kementerian Hukum dan HAM, dia juga menerangkan perbedaan gratifikasi dan suap.
“Dalam bahasa undang-undang bunyinya begini, setiap gratifikasi dianggap suap. Tetapi, mengapa pembentuk undang-undang harus memisahkan itu? (Alasannya), karena ada perbedaan prinsip antara gratifikasi dan suap,” sambung Wamenkum HAM.
Prof Edward Omar menjelaskan gratifikasi dan suap berbeda karena ada faktor kesepakatan (meeting of minds) antara pemberi suap dan penerima suap.
“Kalau suap ada meeting of minds, ada kesepakatan. Tapi, kalau gratifikasi tanpa meeting of minds, tidak ada kesepakatan,” sebut dia.
Contohnya, jika ada seseorang minta dipromosikan dengan iming-iming hadiah jika berhasil, maka itu perbuatan suap, sementara gratifikasi pemberian yang penerima tidak menyepakati iming-iming hadiah tersebut.
Walaupun demikian, Wamenkum HAM menjelaskan para pejabat publik harus lebih mewaspadai pemberian gratifikasi daripada siap.
“Ketika seorang pejabat publik menduduki jabatannya, maka yang harus dicegah, yang harus dijaga itu bukan suap, (tetapi) gratifikasi, karena ketika dia menghindari gratifikasi, maka dengan sendirinya dia menghindari suap,” kata dia.
Baca juga:
Dalam lokakarya yang dibuka, Senin, 4 Oktober, Wamenkum HAM juga berpendapat praktik korupsi di Indonesia sulit diberantas sampai habis karena masih lemahnya integritas dan kesadaran diri sejumlah pejabat dan sebagian masyarakat.
Alasannya, kepatuhan tidak korupsi di Indonesia masih lebih banyak didorong oleh ketakutan terhadap sanksi/hukuman daripada kesadaran dalam diri masing-masing orang.
“Kita itu patuh terhadap aturan, karena ada dorongan dari luar, bukan dari hati nurani,” terang dia.