Kemarahan Risma Hanya untuk Pegawai Rendahan: Penindasan dalam Relasi Kuasa
JAKARTA - Lagi, Tri Rismaharini terekam marah-marah. Kali ini yang jadi sasaran adalah seorang pendamping Program Keluarga Harapan (PKH). Telunjuk Risma selalu enteng mencecar pegawai yang berpangkat lebih rendah. Sementara, pernahkah kita melihat sikap yang sama dari Risma kepada pejabat yang pangkatnya lebih tinggi dari dia? Tentu saja tidak. Kami tak senaif itu. Tapi sikap Risma menunjukkan relasi kuasa yang kuat, bagaimana si kuasa bebas menindas jelata.
Dalam pertemuan terbuka di Gorontalo, Kamis, 29 September, Risma mencak-mencak dan mengintimidasi seorang pendamping PKH. Risma marah karena pendamping PKH itu melaporkan ada warga yang terdata dalam program tapi saldonya tak pernah terisi. Pendamping itu menyebut Kementerian Sosial (Kemensos) mencoret data penerima bansos.
"Jadi bukan kita coret, ya! Tak tembak kamu, ya. Tak tembak kamu!" teriak Risma sembari mengacungkan pena ke pendamping.
Masih dalam teriakan, Risma mengatakan Kemensos tak pernah mencoret data penerima bansos dalam Data Terpadu Kesejahteraan (DTKS). Yang dilakukan Kemensos, kata Risma adalah memerbarui dan melakukan penambahan data secara berkala. Memang, salah satu agenda Risma di Gorontalo adalah mengevaluasi penyaluran bansos yang terhambat.
"Data-data itu yang sering kamu fitnah! Itu saya yang kena. DTKS dicoret. Saya tidak pernah nyoret. Semua daerah kita tambah. Ngapain aku nyoret?" Risma.
Sikap Risma pada pegawai rendahan
Sikap Risma langsung direspons Gubernur Rusli Habibie. Ia tak terima pegawainya diintimidasi. Rusli juga menyebut sikap Risma sebagai contoh buruk dan tak patut dilakukan seorang pejabat negara. Apalagi soal bagaimana Risma memerlakukan orang-orang yang berpangkat lebih rendah. Rusli juga memberi peringatan agar Risma menghormati bumi yang ia pijak.
"Pendamping PKH itu menyampaikan kepada Ibu Menteri ada nama-nama ini, saldonya kosong karena informasinya sudah dicoret. Itu yang bikin naik darahnya ... Itu pegawai saya. Meskipun dia pegawai rendahan tapi manusia juga ... Saya tersinggung. Saya enggak terima,” kata Rusli Habibie kepada wartawan, Jumat, 30 september.
"Saya melihat video itu sangat prihatin. Saya tidak memprediksi seorang menteri, sosial lagi, memperlakukan seperti itu. Itu contoh tidak baik ... Pangkat, jabatan harus kita jaga. Tidak ada artinya pangkat ini. Semua kita tinggalkan. Kalaupun dia (pendamping PKH) salah, ya dikoreksi," tambah Rusli.
Ini bukan kali pertama Risma marah-marah ke pegawai berpangkat lebih rendah. Belum lama ini saja Risma baru memanen kritik. Dalam sebuah pertemuan di Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Wyata Guna Bandung, 13 Juli lalu Risma memarahi seluruh pegawai Kemensos yang hadir. Risma marah besar setelah meninjau kesiapan dapur umum di lokasi.
Risma mengancam memindahkan para aparatur sipil negara (ASN) Kemensos yang ia anggap malas ke Papua. "Saya tidak mau lihat seperti ini lagi. Kalau seperti ini lagi, saya pindahkan semua ke Papua. Saya enggak bisa pecat orang kalau enggak ada salah. Tapi saya bisa pindahkan ke Papua. Jadi tolong yang peka," kata Risma, dikutip Kompas.com.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Beka Ulung Hapsara mencium muatan rasisme dan stigamisasi terhadap Papua dan masyarakatnya dalam pernyataan Risma. Ia mendesak Risma minta maaf dan memperbaiki cara pandangnya. Apa yang salah dengan Papua? Tak sepantasnya Papua jadi tempat pembuangan apalagi penghukuman.
"Papua bukan tempat pembuangan dan penghukuman bagi mereka yang dianggap tak bisa bekerja. Papua setara dan sederajat dengan daerah lain di Indonesia," kata Beka.
Catatan lain kemarahan Risma terjadi ketika ia menjabat Wali Kota Surabaya. Waktu itu, awal pandemi, Mei 2020, Risma geram ketika tahu ada dua mobil PCR dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang seharusnya dikirim ke Surabaya tapi malah dialihkan ke daerah lain. Risma kemudian marah-marah kepada seseorang di telepon yang tak jelas siapa.
"Saya dapat (chat) WhatsApp Pak Doni Monardo kalau (mobil laboratorium) itu untuk Surabaya. Apa-apaan ini. Kalau mau boikot jangan gitu caranya. Saya akan ngomong ini ke semua orang," kata Risma dengan nada tinggi.
Ke waktu lebih silam, September 2016, Risma mengamuk di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Surabaya karena melihat layanan pembuatan KTP elektronik (e-KTP) yang terkesan lamban dan mengakibatkan antrean menumpuk. Risma konon juga menemukan ada warga yang harus bolak-balik untuk mengurus e-KTP.
Risma memanggil Kepala Disdukcapil dan memintanya memanggil pegawai IT yang bertanggung jawab. Risma kemudian mencak-mencak, menyebut kerja lamban itu sebagai dosa pada rakyat. "Kalau ada bapak-bapak wira-wiri di jalan urus KTP, terus (alami) kecelakaan, kamu berdosa," kata Risma, dengan tangan menunjuk anak buahnya yang hanya menunduk.
Relasi kuasa dan penindasan oleh Risma
Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tantan Hermansah melihat ini sebagai hal yang kerap terjadi. Struktur sosial memberikan para pejabat 'hak istimewa' untuk marah-marah. Melihat stratifikasi sosial dan budaya yang terbentuk di lembaga pemerintahan, penindasan yang dilakukan Risma hanya jadi gambaran kecil dari kesenjangan yang sistemik.
"Seorang pejabat memang kerap merasa bahwa ia memiliki hak untuk marah kepada yang di bawahnya. Dan hak itu tidak sebaliknya. Sebab jika hal yang sama dilakukan, meski si bawahan benar, maka ujung-ujungnya bisa dieksklusi dari sistem," kata Tantan kepada VOI, Senin, 4 Oktober.
"Pandangan bahwa secara aturan 'Bos selalu benar, jika bos salah, maka lihat aturan nomor satu' masih menjadi pegangan sebagian pejabat. Kalau tidak bisa marah-marah kepada bawahan, untuk apa jadi atasan (pejabat)?" tambah Tantan.
Tantan menyodorkan teori Hegemoni Gramsci sebagai pisau bedah kasus Risma. Teori ini menjelaskan bagaimana suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya lewat jalan kekerasan maupun persuasi. Teori ini mendalami dominasi kelompok kuasa terhadap golongan di bawah struktur sosialnya.
"Hegemoni dalam pemikiran Gramsci adalah seuah organisasi konsensus, di mana ketertundukan diperoleh melalui penguasaan ideologi dari kelas yang menghegemoni," tertulis dalam jurnal Anatomi Teori Hegemoni Antonio Gramsci oleh Endah Siswati, dikutip VOI, Senin, 4 Oktober.
Melengkapi persepsi tentang kasus Risma, Tantan juga mengajak kita melihat konsep patologi sosial. Kartini Kartono dalam Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja menjelaskan patologi sosial adalah semua tingkah laku "yang bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas kekeluargaan, hidup rukun bertetangga, disiplin kebaikan, dan hukum formal."
Sementara, Dollard menjelaskan patologi sosial adalah penyimpangan perilaku yang disebabkan agresivitas yang muncul sebagai akibat rasa frustasi karena ketidakpuasan dalam diri sendiri. Pendapat ini yang menurut Tantan terjadi pada Risma. Risma bagai bingung terhadap kekuasaannya sendiri. Alih-alih memanfaatkan posisinya untuk manfaat, Risma malah memunculkan masalah baru dari kebiasaannya marah-marah. Sikap tak solutif.
"Pemimpinnya sendiri yang masalah. Mengapa coba marah-marah. Kan dia punya kekuatan dan kekuasaan sekaligus," tutur Tantan.
*Baca Informasi lain soal POLITIK atau baca tulisan menarik lain dari Yudhistira Mahabharata.
BERNAS Lainnya
Baca juga:
- Membaca Simbol Squid Game: Merenungi Struktur Sosial dan Kapitalisme Tempat Kita Hidup
- Sadtember: Mengapa September Terasa Menyedihkan
- Polemik Daun Kratom yang Masuk Narkotika Golongan I Tapi Boleh Diekspor: Larangan yang Harus Dikaji Ulang
- Rindu Sudirman Cup: Piala Milik Indonesia yang Bukan Milik Indonesia