Anies Bisa Dipidana Jika Bersikeras Reklamasi Ancol Tanpa Perda

JAKARTA - Pengamat tata kota, Yayat Supriyatna, mengatakan, sanksi pidana bisa menjerat Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan jika tidak mencabut izin reklamasi Ancol. Sebab, landasan hukum atas izin reklamasi yang diberikan Anies kepada PT Impian Jaya Ancol tidak jelas.

Menurut dia, jika Anies bersikeras melakukan reklamasi, maka sanksi tersebut tercantum dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang. Harusnya izin dikeluarkan setelah ada perda mengenai reklamasi.

"Bagi pejabat yang mengizinkan penyeleggara kegiatan yang tidak ada di dalam rencana kegiatan tata ruang, itu kena hukuman. Hukumannya 5 tahun (penjara) dan ada denda," kata Yayat saat dihubungi, Jumat, 17 Juli.

Lebih jelasnya, Pasal 73 ayat (1) menyatakan bahwa setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.

Kemudian, dalam Pasal 73 ayat (2), menyebut bahwa selain sanksi pidana, pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.

Masalah dalam perizinan reklamasi Ancol yang diterbitkan Anies lewat Keputusan Gubernur Nomor 273 Tahun 2020 adalah tidak memiliki payung hukum yang sesuai, yakni pembaruan peraturan daerah mengenai rencana detail tata ruang (RDTR) dan zonasi.

Sebab, kata Yayat, Perda Nomor 1 Tahun 2014 Tentang RDTR tak mencantumkan rencana perluasan kawasan rekreasi Ancol seluas 155 hektare, dengan pembagian 35 untuk pulau K dan 120 hektare untuk pulau L. 

Alih-alih merujuk perda, Anies malah memegang landasan hukum berupa Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemprov DKI sebagai Ibu Kota NKRI, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. 

Yayat juga menyebut tidak tepat jika Anies menggunakan kewenangan diskresinya untuk melongkapi revisi Perda RDTR. "Diskresi itu dibolehkan jika terjadi kekosongan hukum, terjadi ketidakjelasan, dan terjadi kepentingan yang sangat strategis," ucap Yayat.

"Tapi, pertanyaannya diskresi itu kebablasan atau tidak? Jangan sampai diskresi melanggar aturan hukum yang ada. Artinya, kalau diakresi itu dibuat dengan melanggar perda yang ada, itu enggak boleh," tambah dia.

Dengan demikian, Yayat mendorong Anies untuk menunda perizinan reklamasi Ancol sampai ada pembahasan revisi Perda RDTR dan zonasi bersama DPRD DKI. 

"Kenapa tidak dibuat perdanya dulu saja? Kenapa perdanya digantung terlalu lama? Kalau ini dibiarkan maka akan menjadi yurisprudensi buat kepala daerah lain untuk melakukan pelanggaran yang sama," tegasnya.

Sebagai informasi, perizinan perluasan kawasan Ancol ditetapkan dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 237 Tahun 2020 pada 24 Februari 2020. Rinciannya, izin perluasan kawasan rekreasi seluas 35 hektare untuk rekreasi Dunia Fantasi (Dufan) dan 120 hektare untuk perluasan lahan di kawasan Ancol Timur.

Tanah yang akan digunakan dalam proyek reklamasi Ancol merupakan hasil pengerukan sungai dan waduk dari program Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI) dan Jakarta Urgent Flood Mitigation Project (JUFMP) yang telah berjalan sejak 2009.

Nantinya, lahan reklamasi akan digunakan untuk membangun fasilitas rekreasi, di antaranya Bird Park, Masjid Apung, Symphony of The Sea, New Resto, dan pedestrian bundaran timur. Fasilitas ini akan mulai dibangun pada 2021.

Selain itu, akan dibangun juga Dufan Hotel, Symphony of The Sea tahap 3 (Bundaran Timur ke lumba-lumba) dan tahap 4 (lumba-lumba ke dunia fantasi) yang ditargetkan akan dibangun pada 2022. Kemudian, ada Ancol Residence mulai dibangun pada 2021 hingga 2024 dan Ocean Fantasy dibangun 2021 hingga 2023.