Buruh Tuntut Kenaikan Gaji Rp11 Juta, AICE: Kami Tidak Bisa Penuhi
JAKARTA - PT Alpen Food Industry (AFI) yang memproduksi es krim Aice angkat bicara mengenai unjuk rasa pegawainya yang tergabung dalam Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI). Unjuk rasa diawali karena buruh meminta kenaikan gaji yang tidak bisa dipenuhi karena angkanya terlalu besar.
Di mana berdasarkan rumus yang digunakan SGBBI, upah yang diminta adalah sebesar Rp11.623.616, atau 15 persen dari jumlah sales 2018. Kenaikan ini untuk gaji 2020. PT AFI menawarkan formula lain kepada SGBBI.
Kemudian, SGBBI mengirimkan pemberitahuan mogok kerja dan ngotot menuntut adanya kenaikan upah berdasarkan hitungan mereka. Sementara PT AFI menawarkan usulan kenaikan gaji tahun 2020 sebesar Rp4.543.961. Selain gaji, terdapat tunjangan-tunjangan lain yang cukup kompetitif dan melebihi ketentuan normatif.
Legal Corporate PT AFI, Simon Audry Halomoan Siagian menyatakan, pokok permasalahan awal yang dibahas dalam perundingan bipartit adalah pembahasan struktur dan skala upah serta kenaikan upah tahun 2020. Dia memastikan, PT AFI telah mengikuti regulasi yang ada.
"Mereka mempermasalahkan kenaikan upah 2019, kenapa? Karena kenaikan upah 2019 menurut mereka sepihak. Sehingga mereka menuntut kenaikan upah tahun 2020. Ayo kita bahas itu perselisihannya di forum bipartit. Boleh-boleh saja dong karena bagi mereka kita salah ayo dibahas," tuturnya, saat ditemui di Karawang, Sabtu, 5 Juli.
Simon mengatakan, permasalahan gaji ini karena upah minimum kota (UMK) naik setiap tahunnya. Karyawan yang telah bekerja lebih dari satu tahun merasa gaji mereka setara dengan gaji karyawan baru.
"Mereka mempertanyakan kok tidak ada kenaikan upah (2020). Karena UMK naik terus. Saya upahnya UMK tahun sekian masa pegawai baru masuk upahnya sama. Padahal saya sudah bekerja 1 tahun, dia baru 1 bulan. Padahal kita tuh ada selisih gaji, kami atur itu," jelasnya.
Baca juga:
Lebih lanjut, Simon mengatakan, saat di forum bipatrit perselisihan ini dibahas dan muncul angka kenaikan upah sebesar Rp11 juta yang dihitung berdasarkan rumusan SGBBI yang berasal dari 15 persen penjualan Aice 2018.
"Mereka meminta Rp11 juta itu baru pokok, belum tunjangan. Itu menjadi ngawur, saya sulit sekali memenuhinya. Karyawan kami juga ada yang S1, kalau SMA gajinya Rp11 juta, mereka dibayar berapa," ucapnya.
SGBBI tetap melaksanakan mogok kerja pemogokan selama tiga hari pada 20, 21 dan 23 Desember 2019. Pada 21 Desember 2019, Disnaker kembali mengundang PT AFI dan SGBBI untuk mediasi pada tanggal 23 Desember 2019.
Tetapi pada tanggal itu, hanya PT AFI yang datang. SGBBI tidak bersedia hadir mengikuti undangan mediasi. Padahal, kata Simon, lebih dari ratusan pekerja hadir memenuhi selasar depan ruang mediasi di kantor Disnaker.
"Mereka ratusan, kami hanya bertiga. Tetapi tdak ada yang masuk ke ruang mediasi. Berdasarkan fakta ini, kami sungguh bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat pengurus SGBBI tidak mau dan atau tidak siap menghadiri undangan mediasi," jelasnya.
Akhirnya kedua belah pihak kembali melakukan mediasi dan pada tanggal 7 Januari 2020 mediator mengeluarkan anjuran. Pihaknya menerima anjuran namun pihak serikat buruh menolak anjuran dan melakukan gugatan melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan pada tanggal 21 Ferbuari 2020 kembali melakukan aksi mogok kerja yang berujung pada PHK.
Sementara itu, Head of Human Resources Aice Group Antonius Hermawan Susilo mengatakan, dengan proporsi pekerja lulusan SMA sebanyak 90 perssn, pihaknya memberikan gaji pokok terendah Rp4,5 juta plus tunjangan karyawan. Dalam sebulan dirinya menyebut kisaran gaji plus tunjangan untuk karyawan dengan masa kerja 1 bulan berkisar Rp5,5 juta hingga Rp6 juta, dengan persentase rata-rata kenaikan gaji pada tahun ini 11 persen.
Antoni mengatakan, karena hal ini pihaknya menilai tuntutan peningkatan gaji pokok mencapai Rp11 juta tidak masuk akal. Apalagi aksi mogok kerja juga membuat operasional mengalami gangguan.
Saat ini, karyawan yang bekerja masih tersisa 1.200 karyawan sedangkan 469 karyawan yang melakukan mogok kerja statusnya sudah di PHK dengan kualifikasi Mogok Kerja Tidak Sah (MKTS)
"Sebagian sudah di-replace, sebagian lagi di-hold. Karena untuk posisi core atau penting itu kami langsung ganti dengan karyawan baru. Sebelumnya kan hampir 500 karyawan mogok, jadi saat ini karyawan kami kurang lebih tinggal 1.200 karyawan," katanya.