Buruh: Tidak Segila Itu Kami Menuntut Aice Gaji Rp11 Juta
Pabrik es krim Aice di Karawang (Foto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Federasi Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR) yang menaungi ratusan buruh es krim Aice dalam Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia PT Alpen Food Industry (SGBBI PT AFI) membantah bahwa menuntut perusahaan untuk menaikan upah atau gaji pokok menjadi Rp11 juta.

Juru Bicara F-SEDAR Sarinah menegaskan, bahwa pihaknya hanya meminta kenaikan gaji sebesar Rp200 ribu hingga Rp300 ribu seperti pembayaran gaji yang dilakukan oleh perusahaan es krim asal Singapura pada tahun 2016.

Lebih lanjut, dia mengatakan, pada tahun 2016 perusahaan membayarkan gaji karyawan tidak hanya berdasarkan upah minimum kota (UMK) sebagai perhitungan gaji pokok, namun juga ada tambahan lain.

"Tidak. Tidak pernah. Tidak ada buruh bilang Rp11 juta, tidak ada itu. Kami tidak segila itu menuntut Rp11 juta. Tanggal 20 Februari kami sudah memberikan surat win-win solution. Kita ingin kembali ke 2016 yang menambah upah cuma Rp200 sampai Rp300 ribu kan. Karena dulu Aice pernah pake tidak cuma UMK. Tapi ada tambahan UMK plus Rp200 ribu sampai Rp300 ribu," katanya, saat dihubungi VOI, di Jakarta, Selasa, 7 Juni.

Sarinah mengatakan, perhitungan gaji pokok yang diminta oleh pihak buruh pun formulanya pakai lima komponen sesuai Permen Pengupahan dan struktur skala upah.

"Nah sekarang dibesar-besarkan seolah kita ingin memeras perusahaan meminta gaji Rp11 juta, kita enggak seberani itu. Enggak masuk akal lah," tegasnya.

Lebih lanjut, Sarinah menjelaskan, jika direrata gaji pokok yang diminta oleh buruh diangka Rp4,7 juta hingga Rp4,8 juta. Menurut dia, gaji pokok buruh biasa saat ini diangka Rp4,5 juta.

Terkait dengan, pernyataan perusahaan yang mengatakan pembayaran gaji terendah di Aice berkisar Rp5,5 juta hingga Rp6 juta, kata Sarinah, itu pembayaran yang diperuntukan bagi karyawan yang memiliki jabatan supervisor atau leader.

Sarinah menjelaskan, gaji yang dibayarkan perusahaan jika diakumulasi mendapatkan jumlah yang besar, karena memasukan tunjangan uang makan dan transportasi ke dalamnya. Padahal, tunjangan tersebut sifatnya adalah fasilitas di luar gaji pokok.

Adapaun rinciannya adalah uang makan Rp15.000, uang transportasi Rp5.000 yang dibayarkan perusahaan dengan perhitungan 26 hari kerja. Kemudian, pekerja mendapat tunjangan kehadiran Rp200 ribu. Namun, syaratnya sangat ketat. Karyawan tidak boleh mengajukan cuti ataupun izin karena sakit. Jika kehadiran tidak mencapai 100 persen, maka tunjangan ini tidak dapat dicairkan.

Menurut Sarinah, seluruh sistem pengupahan di Aice itu menguntungkan karyawan yang berada di office atau kantor yang berpangkat. Sementara tidak bagi buruh operator lulusan SMA.

"Bohong. Yang Rp6 jutaan itu gaji leader. Gaji pokok Rp4,7 juta, tunjangan jabatan Rp800 ribu dan gampang dapat tunjangan kehadiran karena mereka enggak berat banget kerjanya, bisa perintah-perintah," ucapnya.

Lebih lanjut, Sarinah mengatakan, munculnya angka Rp11 juta adalah hitungan kasar atau simulasi yang didapat dari 15 persen penjualan perusahaan Aice di 2018. Hitungan ini sebagai gambaran kemampuan perusahan bahwa dengan keuntungan tersebut perusahaan dapat membayar satu orang karyawan sebesar Rp11 juta.

"Rp11 juta itu tidak pernah diminta. Tidak ada tuntutan. Tuntutan itu kan kita minta dan kita bertahan di situ. Enggak pernah. Itu cuma satu informasi semacam pengetahuan saja. Kalaupun mereka menolak kita tidak membantah balik di situ," jelasnya.

Sementara terkait PT Alpen Food Industry yang memiliki bukti berupa gambar tangkap layar berita kegiatan SGBBI yang menggelar doa bersama agar tuntutan kenaikan gaji Rp11 juta dipenuhi, dibantah. Menurut dia, gambar tangkap layar ini bukan acara doa bersama.

"Itu bukan doa bersama. Itu orang abis salat magrib masih pakai sarung foto karena mereka biasanya habis salat bareng-bareng di sini. Kemudian di Facebook sedang ada akun yang tidak jelas menyudutkan mereka bahwa mereka meminta gaji Rp11 juta, kemudian mereka bilang 'wah kalau memang dapat Rp11 juta ya kita doakan saja'," tuturnya.

Sarinah mengatakan, dirinya juga memiliki gambar tangkap layar tersebut. Menurut dia, di sana buruh menyertakan tagar 'goceng dapat apa', sebagai gambaran bahwa kenaikan upah yang diberikan perusahaan hanya Rp5 ribu.

"Itu sarkas. Karena mereka sedang dituduh menuntut gaji Rp11 juta. Di situ kan ada #gocengdapatapa. Karena gaji Aice itu waktu dulu dulu hanya naik Rp5ribu dari UMK. Karena itu yang mereka dapatkan. Tahun pertama naik Rp5rbu, kemudian naik Rp5 ribu lagi. Tahun 2018 UMK naik Rp5 ribu, 2019 naik Rp5 ribu jadi UMK plus Rp10 ribu. Mereka bilang goceng dapat apa," ucapnya.

Jalankan anjuran Disnaker sepihak

Sarinah mengatakan, karyawan melukan aksi mogok kerja pertama yang berlangsung pada 20, 21 dan 23 Desember 2019. Pada tanggal 19 Desember, SGBBI dan Aice melakukan perundingan yang difasilitasi oleh dinas tenaga kerja (Disnaker). Kemudian pada 23 Desember terjadi mediasi pertama pada forum bipatrit.

"Pada saat itu kami datang untuk mengirimkan surat. Karena kami ingin mendengarkan penjelasan. Aice kirim surat dan kita jalankan panggilannya untuk masuk kerja pada 26 Desember," jelasnya.

Kemudian, lanjut Sarinah, tanggal 7 Januari 2020 keluar anjuran dari Disnaker pengupahan. Lalu, tanggal 20 Januari risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial keluar. Aice menjalakan anjuran sepihak, ini lah yang memunculkan aksi mogok kedua pada 21 Februari.

"Karena risalah itu tidak mengingat Aice langsung jalankan sendiri, karena mereka punya power mereka tidak nanya lagi. Dijalankan sepihak UMK plus Rp35 ribu dalam hitungan dia. Karena sudah jelas disitu tidak mengikat kami menolak. Tanggal 21 Februari mogok kedua. Ini kan hak pekerja buruh akibat tidak adanya kesepakatan," ucapnya.

Sarinah menilai, Disnaker juga memutus perundingan bipatrit dengan tidak mengundang perundingan kedua maupun ketiga. Padahal, pihaknya telah menanyakan kapan mediasi kedua dilaksanakan, namun tidak ada jawaban.

"Perusahaan ketika menerima anjuran itu yang tidak bersifat mengikat langsung dijalankan saja dengan mengirimkan surat buktinya secara sepihak. Dia tidak ingin ada kesepakatan dengan serikat pekerja, yang dia buktikan dengan tindakannya dia," katanya.

Sebelumnya, Legal Corporate PT AFI, Simon Audry Halomoan Siagian menjelaskan, pokok permasalahan awal buruh meminta kenaikan gaji. Dalam di forum bipatrit perselisihan ini dibahas dan muncul angka kenaikan upah sebesar Rp11 juta yang dihitung berdasarkan rumusan SGBBI yang berasal dari 15 persen penjualan Aice 2018.

Simon mengatakan, permintaan atau tuntutan ini yang tidak bisa dipenuhi karena angkanya terlalu besar. PT Alpen Food Industry menawarkan formula lain kepada SGBBI.

Kemudian, SGBBI mengirimkan pemberitahuan mogok kerja dan ngotot menuntut adanya kenaikan upah berdasarkan hitungan mereka. Sementara PT AFI menawarkan usulan kenaikan gaji tahun 2020 sebesar Rp4.543.961. Selain gaji, terdapat tunjangan-tunjangan lain yang cukup kompetitif dan melebihi ketentuan normatif. 

"Mereka meminta Rp11 juta itu baru pokok, belum tunjangan. Itu menjadi ngawur, saya sulit sekali memenuhinya. Karyawan kami juga ada yang S1, kalau SMA gajinya Rp11 juta, mereka dibayar berapa," ucap Simon.

Sementara itu, Head of Human Resources Aice Group Antonius Hermawan Susilo mengatakan, dengan proporsi pekerja lulusan SMA sebanyak 90 persen, pihaknya memberikan gaji pokok terendah Rp4,5 juta plus tunjangan karyawan. Dalam sebulan dirinya menyebut kisaran gaji plus tunjangan untuk karyawan dengan masa kerja 1 bulan berkisar Rp5,5 juta hingga Rp6 juta, dengan persentase rata-rata kenaikan gaji pada tahun ini 11 persen.

"Kalau di Bekasi itu untuk karyawan yang status atau level yang paling rendah itu, gajinya sekitar Rp4,5 juta dan ini belum termasuk tunjangan-tunjangan lain yang diterima karyawan. Maka kalau ditotalkan secara keseluruhan dan ikut dengan uang lembur, untuk karyawan yang levelnya paling rendah tadi sekitar Rp6 juta-an lebih," kata Antoni.