AKARTA - Perseteruan antara PT Alpen Food Industry (AFI) dengan serikat gerakan buruh bumi Indonesia (SGBBI) masih berlanjut. Buruh menganggap perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak, dan menyiapkan rencana untuk menghalau karyawan yang hendak masuk kembali bekerja dengan melibatkan aparat Kepolisian dan TNI.
Legal Corporate Alpen Food Industry, Simon Audry Halomoan Siagian angkat bicara mengenai hal ini. Dia menjelaskan, kronologi PHK 469 karyawan yang tergabung dalam SGBBI ini bermula dari tuntunan kenaiakan upah dengan melakukan mogok kerja.
Menurut Simon, aksi mogok kerja dilakukan dua kali. Pertama kali pada bulan Desember tanggal 20, 21 dan 23. Karena melakulan mogok kerja selama tiga hari, Aice mengkualifikasikan sebagai mogok kerja tidak sah. Pada saat ini, Aice melakukan pemanggilan kerja yang pertama.
"Tanggal 19 Desember pada tahap mediasi pertama Aice dan SGBBI hadir. Tanggal 23 mediasi tahap kedua SGBBI tidak hadir. Kemudian, SGBBI mengajukan kerja kembali tanggal 26 Desember. Mereka kembali bekerja," tutur Simon, saat ditemui di Pabrik Aice, Karawang, Jawa Barat, Sabtu, 4 Juli.
Simon menjelaskan, pada tanggal 20 Januari 2020 Disnaker dan PHI mengaluarkan anjuran terkait kenaikan upah atau gaji yang menjadi tuntutan karyawan. Pihak AFI menerima anjuran tersebut namun SGBBI menolak.
Dikatakan, di dalam risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial bahwa sesuai dengan ketentuan pasal 14 ayat (2) undang-undang nomor 2 tahun 2004 maka para pihak atau salah satu pihak dapat mengajukan penyelesaian perselisihan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial.
Simon mengatakan, SGBBI juga menolak menyelesaikan masalah melalui PHI, dan melaporkan Aice kepada Kemenaker, Komnas Perempuan, Komnas HAM dan lainnya mengenai isu lain yang bukan menjadi permasalahan mogok kerja.
"Meraka melakukan demonstrasi ke kantor pusat Aice. Merusak citra Aice di media sosial. Pada tanggal 21 Februari mereka melakukan aksi mogok kerja ke dua selama 7 hari bertutur-turut" tuturnya.
Menurut Simon, pada aksi mogok yang ke dua pihaknya sudah melakukan pemanggilan untuk masuk kerja kembali secara tertulis yang dikirim ke masing-masing alamat pekerja yang tercatat di perusahaan.
"Kami sudah mengeluarkan pemanggilan secara tertulis dua kali, tolong masuk tanggal sekian tetapi tidak direspons. Kita kirim lagi surat, tidak masuk lagi. Karena aksi mereka di depan kantor, kami juga memanggil meraka untuk masuk dengan mengunakan pengeras suara. Kami berikan mereka waktu 15 menit untuk melakukan aksi, tapi enggak ada yang masuk kembali," katanya.
BACA JUGA:
Terkait tidak semua karyawan menerima surat pemanggilan, Simon mengatakan, bahwa pihaknya dapat memastikan semua karyawan menerima surat karena surat dikirim melalui kurir.
"Kami cek terkirim semua kok, kami kirim menggunakan JNE dan kami punya bukti resi terima setiap lembar surat yang kita kirimkan. Kami minta JNE untuk berikan salinan terima bahwa yang dikirim ke alamat ini sudah menerima suratnya," jelasnya.
Namun, kata Simon, jika ada yang mengatakan tidak menerima hal ini bisa saja mereka sudah pindah dari alamat lama yang tercatatan di perusahaan. "Bisa saja pindah kost, tapi tidak lapor ke kami. Sedangkan kami kirimnya ke alamat yang tercatatat di kami," jelasnya.
Simon mengatakan, karena melakukan aksi mogok selama 7 hari, sebanyak 469 orang ini dikualifikasikan mangkir dan kemudian diputuskan mengundurkan diri oleh perusahaan.
Lebih lanjut, Simon mengatakan, keputusan ini diambil berkaca pada pasal 3 dan 6 dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 232 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Tidak Sah.
Bunyi pasal 3 poin a yakni, mogok kerja tidak sah apabila dilakukan karena gagalnya perundingan.
Bunyi pasal 6 yaitu:
Ayat (1) mogok kerja yang dilakukan tidak sah sebagaimana pasal 3 dikualifikasikan sebagai mangkir.
Ayat (2) pemanggilan untuk kembali bekerja bagi pelaku mogok sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan perusahaan 2 kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari dalam pemanggilan secara patut dan tertulis.
Ayat (3) pekerja/buruh yang tidak memenuhi pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka dianggap mengunakan diri.
"Kami mengklasifikasikan mereka PHK dengan mengundurkan diri sudah terbukti dengan pasal ini," tuturnya.
Terkait dengan pengahalauan karyawan dengan melibatkan aparat keamanan Kepolisian dan TNI, kata Simon, dilakukan sebagai antisipasi yang perusahaan guna menghindari hal buruk terjadi. Misalnya, sabotase.
"Jadi alasan kami melibatkan pihak keamanan dalam penjagaan ini, untuk mengamankan karyawan yang bekerja dan juga kami ini kan produk makanan. Kami ini sangat hati-hati dengan sabotase. Kesehatan dan keselamatan kerja saja kita sudah sangat hati-hati sekali, apalagi orang yang memang sudah berselisih masuk kembali itu akan sangat berbahaya," jelasnya.
Menurut Simon, pelibatan aparat keamanan ini juga setelah serangkaian mediasi dilakukan mulai bertemu langsung hingga pemanggilan menggunakan surat dan diputuskan PHK dengan kualifikasi pengunduran diri.
"Jadi sebelum ada penghalauan terhadap pekerja yang berselisih ini, kami berkirim surat dulu dua kali. Mereka bales tetap tidak mau masuk dan di hari kedelapan itu kami putuskan PHK karena mengundurkan diri. Saya bisa pastikan bahwa pelibatan pihak keamanan itu setelah mereka resmi di PHK. Mereka resmi putus tanggal 29 Februari," katanya.
Diberitakan sebelumnya, anggota SGBBI Indra mengaku diPHK sepihak oleh perusahaan Aice. Para karyawan yang melakukan aksi mogok sudah sepakat untuk kembali bekerja setelah menjalankan aksi.
Namun, Indra menjelaskan, perusahaan justru membuat rencana menghalau karyawan dengan melibatkan aparat keamanan lengkap dari Kepolisian dan TNI.
Indra menilai, tindakan yang dilakukan perusahaannya adalah PHK sepihak. Sebab, saat karyawan berencana untuk kembali bekerja, perusahaan justru melakukan putusan kerja.
"Saat PT AFI melakukan pemanggilan, kami menanggapi surat dari PT AFI bahwa kami sedang melakukan mogok kerja. Tapi PT AFI mengembalikan surat tanggapan dari anggota SGBBI yang mendapat panggilan masuk kerja. Ketika kami mau masuk justru kami dihalang-halangi untuk masuk kerja kembali," tutur Indra.