Resensi Buku Menteng-Mengenal Kota Taman Pertama di Indonesia
JAKARTA - Sedari dulu, Menteng telah dikenal sebagai kawasan elite di Jakarta. Tak cuma karena kekayaan sejarah, tapi juga karena Menteng bagai oase di tengah amburadulnya tata ruang Jakarta. Kawasan pemukiman lama maupun baru lain di Jakarta, secara fakta tak serapi dan megah seperti Menteng.
Karenanya, gengsi Menteng tetap terjaga sejak dulu hingga sekarang. Presiden ke-44 Amerika Serikat (AS) Barack Obama yang pernah tinggal di Menteng ikut-ikutan memuji. Saking istimewanya Menteng, seorang Arsitek kesohor Belanda, H.P. Berlage yang mengunjungi Batavia (Jakarta) pada 1923, sungguh mengagumi kawasan ini.
Baginya, Menteng adalah kawasan yang secara keseluruhan menyatu secara menarik. Kekaguman semakin bertambah saat dirinya melihat gaya bangunan vila modern yang disesuaikan dengan iklim tropis. Hal itu baginya memberikan kesan unik. “Saya merasa seakan-akan di Baarn atau di Hilversum,” katanya.
Meski begitu, tak banyak orang tahu bagaimana sejarah panjang Menteng sebagai daerah pemukiman. Kebanyakan hanya mengetahui Menteng sebagai kawasan elite. Padahal, Menteng merupakan kawasan bersajarah yang pernah dihuni oleh tokoh-tokoh nasional. Selain itu, tak banyak orang yang paham tentang perkembangan dan nilai arsitektur dari hunian yang ada di Menteng.
Beruntung, salah satu tokoh penting dalam penulisan sejarah Jakarta yang juga warga Menteng sejak akhir tahun 1960-an, Adolf Heuken SJ menyusun sebuah buku bersama Grace Pamungkas berjudul Menteng: Sejarah Kota Taman Pertama di Indonesia (2001).
Dalam buku tersebut, Adolf mencoba membagikan hasil pengamatan dan risetnya mengenai kawasan yang telah menjadi tempat tinggalnya sehari-hari. Sejarah, perkembangan, gedung-gedung tua, perihal kota Taman, hingga elemen banguan khas yang ada di rumah-rumah Menteng.
Perkembangan Menteng
Berdasarkan sejarah, pemilik tanah Menteng sering kali berpindah tangan. Misalnya pada pertengahan abad ke-18, di mana tanah Menteng dimiliki oleh seorang ‘Moor’ (Arab), Assan Nina Daud (1755-1762). Tak lama setelahnya, kepemilikan jatuh kepada J. du Chene de Vienne di tahun 1790.
Berlanjut lagi pada awal abad ke-19, tepatnya di tahun 1815, tanah Menteng dimiliki oleh seorang yang bernama Jakob P. Barends. Dan pada pertengahan abad ke-19, tanah Menteng jatuh kepada seorang tuan tanah keturunan Arab.
Namun, sebagian dari orang Arab yang pernah menjadi pemilik tanah justru tak pernah benar-benar menempati tanah mereka. Mereka membeli tanah umumnya hanya untuk investasi. Ketika harga tanah naik, maka kawasan tersebut akan mereka jual.
“Menurut Almanak dari tahun 1910, tanah partikelir Menteng ditanami padi, rumput, dan pohon kelapa. Tanah itu dinilai seharga 238.868 gulden dengan 2.301 orang penggarap tanah yang hidup di atasnya. Mereka memegang hak minim atas ladang yang mereka kerjakan, namun kewajiban mereka sering kali berat,” tertulis di halaman 18.
Singkat cerita, perusahaan real estate De Bouwploeg membeli tanah Menteng seluas 295 Rijnlandsche roeden pada 1908 dengan membayar 238.870 gulden. Pembelian tersebut bermaksud menjadikan Menteng sebagai daerah pemukiman masyarakat golongan kelas atas pada masanya.
Menteng mulai dikembangkan oleh arsitek terdidik yang banyak di antaranya baru pertama kali bekerja di Batavia. Maka Menteng menjadi daerah pemukiman modern pertama di negeri ini.
Bangunan tua bersejarah
Setelah membahas perkembangan panjang dan perihal arsitektur rumah yang ada di Menteng. Adolf kemudian beralih daripada menjelaskan bangunan tua bersejarah di Menteng. Beberapa di antaranya hadir dalam bentuk gedung umum, dan rumah tinggal.
Gedung umum bersejarah tersebut meliputi Gedung Kunstkring atau bekas kantor imigrasi, Gedung Bouwploeg atau Boplo, Bappenas atau bekas loge, kantor telepon yang sekarang ini dijadikan Universitas Bung Karno, dan dua geraja tua, gereja Saint Teresia maupun Paulus.
Sedangkan, rumah tinggal yang banyak dijelaskan dalam buku meliputi, rumah Duta Besar Mesir, Duta Besar Portugal, Rumah Dinas Gubernur DKI Jakarta, Rumah Maeda, dan lain sebagainya. Menariknya semua dijelaskan adolf lengkap dengan sejarah pembangunan, arsitek, beserta peruntukan bangunan dari jaman dulu hingga sekarang.
Ambil contoh Gedung Kunstkring. “Gedung ini terletak di posisi istimewa di kawasan Menteng, bukan hanya berperan besar dalam bidang seni murni, melainkan juga merupakan karya khas yang penting untuk sejarah arsitektur Jakarta dan seluruh Indonesia. Hasil ciptaan arsitek Moojen ini membuka masa arsitektur rasional di Indonesia yang berdasarkan tuntutan kesederhanaan, efisiensi dan kebenaran,” ucap Adolf dalam halaman 67.
Menteng sebagai ‘Kota Taman’
Salah satu unsur yang mengistimewakan kawasan Menteng adalah tersedianya dua puluh taman kecil yang tersebar di seluruh kawasan. Atas dasar itu, taman-taman yang ada sering disebut sebagai paru-parunya Menteng. Yang mana orang-orang pada pagi dan sore sering kali membunuh waktu menikmati suasana hijau di taman-taman tersedia.
Tak hanya itu, sesuai dengan karakter Menteng sebagai kota Taman, halaman muka rumah-rumah yang ada dulunya tak seperti sekarang dengan tembok-tembok yang menjulang tinggi. Sebab, pada zaman itu halaman muka rumah-rumah di Menteng justru tak ditutup oleh pagar-pagar yang tinggi.
Baca juga:
“Pada awal tahun 1970-an orang Menteng masih dapat merasakan kenyamanan sewaktu duduk di teras muka, yang dipisahkan dari jalan hanya oleh pagar hijau yang rendah,” hadir di halaman 112.
Oleh sebab itu, pesan penting yang ingin dibagikan oleh empunya tulisan menjadi sangat jelas. Adolf ingin para pembaca memperdulikan pelestarian lingkungan hidup di Menteng sebagai Kota Taman di tengah-tengah Jakarta. Kalau tidak, nuansa khas Menteng akan kalah dengan Dewa Jakarta yang bernama duit.
Detail
Judul Buku: Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia
Penulis: Adolf Heuken SJ dan Grace Pamungkat ST
Terbit Pertama Kali: 2001
Penerbit: Cipta Loka Carak
Jumlah Halaman: 136