AS Sita Produk Rambut Manusia dari Tiongkok yang Diduga Terkait Muslim Uighur
JAKARTA - Pejabat bea cukai Amerika Serikat (AS) menyita produk-produk yang terbuat dari rambut asli manusia kiriman Tiongkok pada Rabu, 1 Juli. Otoritas di AS yakin, pembuatan produk-produk sitaan itu melibatkan umat Muslim Uighur pada kamp-kamp kerja paksa di Provinsi Xinjiang, Tiongkok Barat.
Melansir CNA, otoritas terkait telah mendapati sekitar sebelas ton tenun dan produk rambut lain senilai sekitar 800 ribu dolar AS yang setara Rp11,5 miliar dalam pengiriman tersebut. Oleh sebab itu, mereka menyita seluruh barang yang diyakini dalam proses pembuatannya memanfaatkan penjara dan melanggengkan kerja paksa, termasuk melibatkan anak-anak.
"Produksi barang-barang ini merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius," ungkap Asisten Komisaris Eksekutif untuk Perdagangan Bea Cukai AS Brenda Smith.
"Perintah penahanan dimaksudkan untuk mengirim pesan yang jelas dan langsung ke semua entitas yang ingin melakukan bisnis dengan AS, bahwa praktik ilegal dan tidak manusiawi tidak akan ditoleransi dalam rantai pasokan AS," tambahnya.
Tak hanya itu, Lop County Meixin selaku perusahaan pengekspor rambut manusia telah dimasukkan dalam daftar hitam karena melanggengkan kerja paksa dalam menjalankan bisnis. Atas dasar itu, Departemen Keamanan Negara, Perdagangan, Perbendaharaan Dalam Negeri AS, mengeluarkan pengumuman resmi pada para importir untuk berhati-hati melakukan impor barang yang terkait kerja paksa.
Baca juga:
Selebihnya, pengunguman juga ditujukan kepada perusahaan-perusahaan dalam negeri agar tidak memasok alat-alat pengawasan dalam rangka melanggengkan kerja paksa di Xinjiang. Setali dengan itu, perusahaan dalam negeri pun diminta untuk tidak terlibat dalam membantu otoritas Tiongkok mengembangkan fasilitas penahanan massal umat Muslim.
Lantas, bisnis yang membuka diri dalam melanggengkan kerja paksa harus diwaspadai. Mulai dari resiko reputasi, ekonomi dan dari segi hukum. “Pemerintah China terus melakukan kampanye penindasan di Xinjiang, dengan menargetkan warga Uighur, etnis Kazakh, etnis Kyrgyzstan, dan anggota kelompok minoritas Muslim lainnya," kata Departemen Dalam Negeri AS.