Pertamina Butuh Rp672 Triliun dalam Pembangunan 5 Kilang, Dananya dari Mana?

JAKARTA - PT Pertamina (Persero) masih membutuhkan pendanaan yang besar dalam proyek pengembangan dan pembangunan kilang yang dicanangkan perusahaan minyak dan gas (migas) terbesar di Tanah Air ini.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, pihaknya tetap berkomitmen untuk menjalankan mandat dari pemerintah untuk mengerjakan empat Refinery Development Master Plan (RDMP) dan satu Grass Root Refinery (GRR).

Nicke mengatakan, pembangunan tersebut bertujuan menekan defisit neraca perdagangan yang salah satu kontributor terbesarnya disumbangkan oleh sektor minyak dan gas bumi. Menurutnya, pembangunan lima kilang tersebut dinilai cukup untuk menyetop impor bahan bakar minyak (BBM), bahkan bisa melebihi untuk nantinya diekspor.

"Dengan pembangunan lima kilang tersebut, berarti tahun 2026 kami sudah tidak lagi melakukan impor gasoil, malah stok kami berlebih dan bisa diekspor. Lalu kami hanya perlu impor gasoline," ujar Nicke dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR pada Rabu 1 Juni.

Sementara itu, CEO Refinery & Petrochemical Subholding (PT Kilang Pertamina Internasional) Ignatius Tallulembang memaparkan bahwa dalam proses pembangunannya terdapat sejumlah tantangan. Salah satu tantangannya adalah nilai investasi yang sangat besar.

Dari nilai investasi besar tersebut, ada lagi tantangan turunannya yakni, kompleksitas pencarian mitra strategis, dan profitabilitas marginal bisnis kilang menjadi tantangan terberat dalam kurun waktu 25 tahun terakhir. Adapun untuk keseluruhan proyek kilang itu, kata Ignatius, nilai investasi yang harus dikucurkan yakni sebesar 48 miliar dolar AS atau Rp672 triliun (kurs Rp14.000 per dolar AS) dalam kurun waktu 6-7 tahun ke depan.

Belum lagi saat beroperasi nanti, kilang-kilang itu akan menyerap anggaran operasional sebesar 20 miliar dolar AS setiap tahunnya. Menurut Ignatius, Pertamina bakal mengucurkan anggaran sebesar 40 persen dari total investasi tersebut, dan sisanya akan diserap dari pendanaan eksternal.

"Tentu ini membutuhkan investasi yang besar. Oleh karena itu, dibutuhkan multiple funding berupa partnership, bond atau surat utang, dan lain sebagainya untuk mendukung tercapainya pendanaan pembangunan proyek besar ini," ungkapnya.

Untuk itu, selain memitigasi risiko bisnis, pencarian mitra strategis bisa menjadi salah satu sumber permodalan Pertamina. Namun, dalam perjalanannya, kerja sama dengan mitra-mitra tersebut tidak seluruhnya berjalan mulus seperti hubungan kerja sama Pertamina dengan Saudi Aramco.

Selain itu, lanjut dia, risiko bisnis lainnya kerap berada pada hulu dan midstream. Sebagai gambaran, Ignatius menyinggung peristiwa ledakan dan kebakaran di atas anjungan pengeboran minyak Deepwater Horizon di Teluk Meksiko, sekitar 50 mil di lepas pantai Louisiana, Amerika Serikat. Akibat kejadian ini British Petroleum (BP) raksasa minyak Inggris kolaps.

"Bisnis ini risikonya tinggi, seperti unschedule shutdown, ledakan, dan sebagainya. Deep Water Horizon di Meksiko mengakibatkan 11 orang meninggal, BP hampir bangkrut," ujarnya.