Bagikan:

JAKARTA - Rencana PT Pertamina (Persero) yang ingin melantai di bursa saham atau melakukan Initial Public Offering (IPO), mendapatkan pertanyaan pedas dari Komisi VII DPR RI. Rencana ini dinilai DPR kurang pas apabila melihat kondisi Indonesia yang masih tertekan karena adanya pandemi COVID-19.

Anggota Komisi VII DPR Ratna Juwita mempertanyakan apakah rencana IPO ini sudah tepat waktunya. Sebab, menurutnya belum ada yang dapat memastikan dalam waktu satu atau dua tahun mendatang pasar keuangan akan membaik.

Sedangkan, Menteri BUMN Erick Thohir, sudah menyatakan ke publik bahwa IPO ini akan dilakukan dalam jangka waktu satu hingga dua tahun ke depan.

"Izin interaktif pimpinan dengan Pak Iman, saya tertarik dengan paparan yang bapak berikan kalau IPO adalah masalah timing. Saya ingin bertanya menurut pendapat bapak kalau wacana IPO kita bicarakan hari ini timing-nya pas enggak? Saat ini ada COVID-19 yang melanda ekonomi global," tuturnya, rapat dengar pendapat Komisi VII dengan Dirut Pertamina, Senin, 29 Juni.

Menurut Ratna, dengan pemikiran sederhana saja, sebagus apapun kondisi perusahaan tetapi kalau pasar sedang jelek dan tidak bisa dipastikan pandemi akan berakhir kapan, maka rencana IPO sama saja dengan menggadaikan ketahanan energi Indonesia ke depan.

"Kita tidak bisa berasumsi kapan pandemi ini akan berakhir. Itu sama dengan kita menggadaikan dalam "masa depan" ketahanan energi kita pimpinan. Jadi begini, saat ini kita kan sedang fokus untuk bisa bersama-sama memulihkan kondisi masyarakat secara umum di Indonesia, supaya kita bisa sama-sama bangkit dan kita sama-sama bisa bekerja," katanya.

Lebih lanjut, Ratna mengatakan, Pertamina adalah satu sektor terpenting dari wacana pemulihan ekonomi yang digaungkan oleh pemerintah.

"Yang ingin saya sampaikan di sini adalah bagaimana kok bisa muncul wacana yang menurut sangat ekstrem hari ini tentang adanya IPO ini. Pertama, apakah memang Pertamina sudah memiliki rencana bahwa dengan adanya IPO ini yakin enggak ketahanan energi ini bisa kita miliki?," jelasnya.

Ratna juga mempertanyakan, apakah dengan keputusan IPO bisa menjamin ketahanan energi yang bisa diwariskan kepada anak cucu pengurus Indonesia. Jika ada jaminan itu, apakah bisa dengan skema tersebut Pertamina juga memberikan pelayanan yang maksimal untuk masyarakat hari ini.

"Sedangkan kita ketahui bahwa impor kita saja masih segitu tinggi, yang juga sangat membebani keuangan APBN kita saat ini?," tuturnya.

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 33, kata Ratna, Pertamina ini memiliki wilayah kerja yang warisan dengan full privilege. Artinya, pemerintah memberikan segala keistimewaan agar Pertamina bisa kompetitif dan memberikan yang terbaik dari segi kuantitas maupun kualitas kepada masyarakat Indonesia.

Namun, kata Ratna, apabila sudah ada wacana IPO, privilege ini harus dicabut. "Firm enggak Pertamina kalau misalnya privilege ini dicabut? Dengan ketentuan Penentuan Standar Eksplorasi (PSE) standar yang 85 persen dan 15 persen itu? Firm enggak," ucapnya.

"Jadi saya mikirnya begini, alangkah lebih baiknya apabila Pertamina ini serius untuk memberikan pelayanan yang maksimal dan memberikan skema yang jangan terlalu ekstrem yang membuat shock semuanya," tuturnya.

Kemudian, Ratna menyarankan agar Direktur Utama PT Pertamina Nicke Widyawati untuk fokus kepada kilang-kilang minyak, ketimbang mengembangkan rencana IPO di tengah ketidakpastian kapan pandemi COVID-19 akan berakhir.

"Bu Dirut saya minta tolong Bu, daripada Ibu berpusing-pusing mengembangkan wacana IPO ini, lebih baik ibu memaksimalkan kilang-kilang Ibu dan yakinkan kilang-kilang itu bisa mengelola minyak mentah yang kita punya. Sehingga kita tidak perlu impor minyak mentah lagi," tuturnya.

Pertanyakan Legal Standing 

Senada, Anggota Komisi VII Rusdy Mas'ud meminta Pertamina memikirkan langkah yang sudah mulai dibicarakan ke publik tersebut. Salah satu hal yang harus menjadi perhatian Pertamina sebelum IPO adalah mengenai legal standing-nya.

"Saya menyoroti legal standing-nya karena memang jangan sampai ini menjadi masalah di kemudian hari. Itu berkaitan dengan legal standing," tuturnya.

Rusdy mengatakan, rencana IPO tentu berdampak besar ke Pertamina dari segi bisnis. Sehingga ia menegaskan proses tersebut tidak boleh sembarangan. Perlu kajian yang matang sebelum mengambil keputusan terkait IPO ini.

"Menurut saya akan ada kegiatan yang namanya transfer saham baik dari holding ke sub holding. Apalagi ini virtual saya khawatir karena kebiasaan kerja virtual itu legal standing-nya nanti, perpajakannya keuangannya, juga virtual," jelasnya.

Menghadapi hal ini, Direktur Strategi, Portofolio & Pengembangan Usaha Iman Rachman mengatakan, berdasarkan pegalaman suatu perusahaan yang bagus namun dalam indeks harga saham yang rendah menjadi tidak optimal penjualannya.

"Jadi kalau Ibu bisa lihat indeks hari ini di 4.000-an, sementara sebelumnya COVID-19 indeks harga saham kita di 6.000-an. Jadi suatu perusahaan apapun karena IPO itu ada best pricing harga saham Bu. Kalau Ibu bertanya ke saya kalau hari ini mau IPO, pasti belum optimal," jelas Iman.