Melemahnya Aksi Penolakan Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong
JAKARTA - Tak ada teriakan yel-yel maupun jargon-jargon pada aksi unjuk rasa warga Hong Kong yang menolak Undang-Undang Keamanan Nasional kemarin. Menurut sebuah survey, dukungan terhadap gerakan protes tersebut menurun.
Melansir CNA, kemarin, ratusan warga kembali turun ke jalan melakukan aksi long march. Mereka dikawal oleh polisi anti huru-hara Hong Kong. Agendanya masih sama: menentang beleid yang memungnkinkan China membentuk sebuah badan keamanan di Hong Kong.
"Saya di sini untuk menentang undang-undang keamanan nasional," kata Esther (25) salah seorang pengunjuk rasa. "Ini bukan pertempuran terakhir, masih ada perlawanan jangka panjang," katanya.
Peristiwa itu terjadi sehari setelah polisi Hong Kong menolak izin untuk melakukan pawai 1 Juli sebagai peringatan momen penyerahan Hong Kong dari Inggris ke pemerintah China 23 tahun lalu. Dalihnya, aksi unjuk rasa akan melanggar aturan larangan berkerumun lebih dari 50 orang, untuk menghindari penyebaran virus corona baru.
Namun, menurut sebuah survei yang digelar Lembaga Penelitian Opini Publik Hong Kong untuk Reuters menunjukkan, dukungan terhadap kelompok oposisi menurun. Jumlah dukungan menurut survei terbaru menjadi 51 persen dari 58 persen dukungan pada survey sebelumnya Maret lalu. Sementara jumlah orang yang kontra terhadap demonstran naik menjadi 34 persen dari 28 persen.
Baca juga:
Sebelumnya para delegasi meninjau rancangan RUU di pertemuan Komite Tetap Kongres Masyarakat Nasional. Namun mereka belum memberikan rincian tentang rumusan terbaru RUU itu. Sementara dalam diskusi tersebut, panitia didorong untuk mengadopsi undang-undang dalam beberapa hari ke depan.
Parlemen China tentu menyambut baik kabar tersebut. Mereka mengirim rancangan beleid itu kepada Komite untuk dibahas dan direvisi secepat mungkin. Kantor berita Xinhua melaporkan pada awal Juli, China akan membentuk "agen keamanan nasional" di Hong Kong.