Romantisisasi Kemegahan Jakarta: Kamuflase dari Kota yang Dianggap Tak Humanis

JAKARTA - Belakangan ini muka Kota DKI Jakarta ramai diperbincangkan. Dilihat dari udara, potret ibu kota memang terlihat apik. Namun sayangnya, keindahan tersebut seolah pudar tatkala kita mendengar Jakarta kerap disebut sebagai kota yang tak humanis. Apa musababnya?

Sebuah video yang memperlihatkan muka Kota Jakarta viral di media sosial Twitter. Video itu diunggah oleh akun @txtdrjkt.

Akun tersebut mengatakan tak menyangka kalau video yang meperlihatkan kemegahan kota yang didominasi gedung pancakar langit itu adalah Jakarta. "Ku kira kota di negara orang, gataunya di kota sendiri."

Unggahan video tersebut jadi perdebatan warganet. Beberapa  memuji cuplikan keindahan Jakarta. Tapi kebanyakan, warga  berkomentar miring.

Pemilik akun @zarazettirazr misalnya menyarankan agar tak hanya mengekspos bagian yang kinclong saja, sebab banyak juga wilayah yang terlihat kumuh. "Asal jangan selalu fokus sama yang kinclong aja dan enggak ekspos yang kumuh. Jakarta enggak cuma daerah dalam video beberapa detik itu aja."

Selain itu, tak sedikit warganet yang mengomentari semrawutnya tata kota Jakarta. Akun @_aryodamar misalnya, ia mengatakan gedung-gedung pencakar langit di kota justru membuat udara semakin panas dan ruang terbuka hijau tergusur. "Yang bisa menikmati gedung-gedung pencakar langit cuma kalangan tertentu aja."

Sementara akun @emilianaura mengatakan tata kota dan tata guna lahan, sampai alih fungsi lahan di Jakarta juga memprihatinkan. "Jadi yaaa kalau salty (geram) karena cuma diliatin sebagian kecil gedung-gedung bagus di area tertentu doang sih wajar banyak yang geram."

Ilustrasi (Unsplash/Adrian Pranata)

Tata kota buruk

Kritik atas buruknya tata kota Jakarta diafirmasi oleh Rethinking the Future (RTF), platform arsitek global. RTF mendapuk Jakarta sebagai "tempat dengan desain terburuk di dunia."

Menurut RTF, selain Jakarta, tata kota terburuk lainnya yakni Dubai, Arab Saudi; Brasilia, Brazil; Atlanta, Amerika Serikat; São Paulo, Brazil; Boston, Amerika Serikat; Missoula, Amerika Serikat; Naypyidaw, Myanmar; New Orleans, Amerika Serikat; dan Dhanka, Bangladesh.

Dalam situs resminya, RTF menggambarkan Jakarta sebagai Ibu Kota negara yang memiliki polusi udara tinggi hingga banyak air yang tercemar. RTF menyatakan, intervensi perencanaan infrastruktur yang tidak matang selama beberapa dekade terakhir telah membawa Jakarta dalam kualitas hidup yang buruk.

Persoalan tersebut terutama berkelindan dengan masalah keadaan ruang terbuka hijau yang tidak memadai, kemacetan lalu lintas yang ekstrem, dan perluasan kota yang tidak terencana. Sementara faktor pembangunan infrastruktur berada di tangan pemerintah daerah, sehingga mengurangi kemungkinan pelaksanaan proyek jangka panjang.

Tak sedikit orang yang menganggap Jakarta sebagai kota tidak humanis. Tata kotanya lebih ramah untuk pengguna kendaraan roda empat daripada pejalan kaki. Lantas apa akar masalahnya?

Akar masalah

Untuk menjawab pertanyaan itu VOI menghubungi Pengamat Tata Kota Yayat Supriatna. Menurutnya, permasalahan semrawutnya tata kota Jakarta memang sudah mengakar.

Yayat menjelaskan, bila melihat gambaran besar tata kotanya dari zaman dulu, Jakarta seharusnya didesain untuk mengembangkan jaringan angkutan umum berbasis rel kereta. "Ada jaringan kereta api model kereta api atau LRT itu seharusnya menjadi prioritas."

Tapi, dulu kewenangan kereta api bukan urusan pemerintah daerah (provinsi atau kota) tapi urusuan pemerintah pusat. Setelah ada UU Kereta Api, barulah Pemda boleh menangani kereta api.

"Maka di DKI muncullah LRT MRT. Jadi baru sekarang DKI menangani kereta apinya," kata Yayat.

Oleh karena itu, kata Yayat karena kita terlambat dalam pembangunan jaringan rel kereata api. Ujung-ujungnya orang mengandalkan jalan darat jalan raya.

Yayat mencontohkan, Tokyo, kota megapolitan atau metropolitan terbesar nomor satu di dunia dan lebih uas  Jakarta, menghubungkan kota sekiarnya dengan jalur kereta api. "Begitu luas jaringan jalur kereta api mereka."

"Sehingga, orang Jepang yang buat mobil jarang naik mobil. Terbalik dengan kita yang lebih senang bawa mobil," tambah Yayat.

Hal ini berbeda jauh dengan Jakarta yang panjang rel kereta apinya belum memadai. "Bangun MRT aja baru utara selatan. Di situlah letak persoalannya."

Selain itu, kaya Yayat, pemerintah kita bahkan sejak zaman Orde Baru, terlihat lebih senang membangun jalan. Khususnya jalan tol. Sebab jalan tol dari segi bisnis dianggap lebih  menguntungkan dibandingkan angkutan kereta api atau angkutan umum.

"Kalau angkutan umum, kereta api, di mana-mana itu disubsidi, jadi enggak ada bisnisnya yang menarik. Tapi kalau jalan tol kan bisnis. Nyambunglah. Pabrik mobilnya terus jalan, jalan tolnya terus dibangun," beber Yayat. 

Otomatis orang lebih senang naik mobil. Dibandingkan naik angkutan umum yang masih terbatas.

"Jadi kenapa dikatakan kurang humanis, karena terlambat pembangunan jaringan kereta api. Sehingga kota ini lebih mirip kota untuk bermobil. Karena itu pilihannya," kata Yayat.

*Baca informasi lain tentang DKI JAKARTA atau tulisan menarik lain dari Ramdan Febrian Arifin.

BERNAS Lainnya