Bio Farma: Pengolahan Bahan Baku Menjadi Vaksin Perlu Waktu Satu Bulan
JAKARTA - PT Bio Farma (Persero) menyatakan bahwa selama ini harus berkejaran dengan waktu untuk menyiapkan hingga mendistribusikan vaksin, sebab pengolahan bahan baku (bulk) menjadi vaksin jadi memerlukan waktu hingga satu bulan.
"Kalau bulk ini butuh proses, membutuhkan waktu sebulan untuk memulai dari proses bulk hingga produk jadi dan dikemas. Kita sangat butuh sekali jadi kejar-kejaran antara waktu penggunaan dan waktu produksi," ujar Juru Bicara PT Bio Farma Bambang Heriyanto dalam diskusi daring yang dipantau dari Jakarta, dilansir, Selasa, 24 Agustus.
Bambang mengatakan Bio Farma selaku penyedia dan pendistribusi vaksin memang mendapatkan vaksin dalam bentuk bulk maupun produk jadi. Saat dimulai proses produksi bulk ke bentuk jadi mesti melewati beberapa tahapan.
Baca juga:
- Eijkman Harap Vaksin Merah Putih Bisa Digunakan Mulai Pertengahan 2022
- Panel Pandemi COVID-19 Australia Dukung Target Pembukaan Penguncian, Meski Masih Ada Wabah di Sydney
- Anies Janji WNA Pencari Suaka Bakal Divaksin Gratis: Sedang Finalisasi
- Pemerintah Minta Bio Farma Tingkatkan Produksi Vaksin COVID-19 Jadi 40 Juta Dosis per Bulan
Proses dimulai sejak karantina bahan baku datang khususnya jenis Sinovac, dilanjutkan dengan fill and finish di Bio Farma, lalu uji mutu hingga akhirnya didistribusikan ke seluruh wilayah di Indonesia.
Menurut dia, Bio Farma terbantu dengan adanya kombinasi kedatangan vaksin. Sehingga saat vaksin bentuk jadi didistribusikan, berbarengan dengan produksi bulk. Dengan begitu, rentang waktu bisa dimanfaatkan untuk menutupi stok yang tersedia.
"Sehingga kekurangan atau menunggu waktu produksi bisa dikejar dibantu dengan adanya vaksin yang siap digunakan. Tapi tentunya vaksin jadi harus tetap menunggu LOT rilis dari BPOM sebelum didistribusikan," kata dia.
Ia menambahkan bahwa saat ini Bio Farma telah memiliki dua fasilitas khusus untuk proses produksi bulk ke bentuk jadi. Ia menyebutkan Bio Farma dapat menampung 250 juta kapasitas vaksin dari dua fasilitas itu yang telah memenuhi kualifikasi dari BPOM dan sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
"Fasilitas bukan fasilitas produksi biasa tapi harus memenuhi syarat dari Badan POM dan Stantar WHO. Dua fasilitas yang kita gunakan, satu 100 juta dosis dan 150 juta dosis dan sudah di-approve oleh Badan POM," kata dia.
Sebelumnya, Dokter spesialis penyakit dalam dan vaksinolog Dirga Sakti Rambe meminta masyarakat untuk tidak pilih-pilih saat akan melakukan vaksinasi, sebab menurutnya vaksin yang terbaik adalah vaksin yang tersedia untuk disuntikkan.
"Saya harus ingatkan bahwa vaksin yang terbaik adalah vaksin yang tersedia untuk ada saat ini. Jadi jangan milih-milih, 'saya ingin produk A, saya ingin produk B'," kata dia.
Saat ini ada kecenderungan masyarakat yang memilih-milih vaksin mana yang ingin mereka dapatkan. Perbedaan efisiensi dari berbagai jenis vaksin menjadi alasan masyarakat enggan melakukan vaksinasi dari jenis tertentu.
Padahal kata Dirga, semua merek vaksin efektif dalam mencegah perawatan, penyakit yang berat, dan kematian akibat COVID-19. Maka dari itu ketika masyarakat mendapatkan kesempatan divaksin untuk memanfaatkannya.