Melihat Rasisme di Eton College, Sekolah Keluarga Kerajaan yang Lahirkan 20 Perdana Menteri Inggris

JAKARTA - Meluasnya aksi solidaritas ‘Black Lives Matter’ (BLM) di Inggris membuat ragam institusi yang dimiliki oleh pemerintah maupun swasta berkaca kembali melihat dosa masa lalu. Mereka yang merasa memiliki sejarah melanggengkan perbudakan dan rasisme, langung mengeluarkan permintaan maaf resmi ke publik.

Beberapa di antaranya yang telah menyampaikan maaf adalah The Lloyd’s of London Insurance Market, The Bank of England, serta yang paling anyar, sekolah paling bergengsi di Inggris, Eton College. Dikutip dari Reuters, permohonan maaf diucapkan langsung oleh Kepala Sekolah Eton saat ini, Simon Henderson. Simon meminta maaf atas adanya rasisme turun-temurun dari institusi yang saat ini ia pimpin.

Henderson mengatakan, rasisme tidak memiliki tempat dalam masyarakat yang beradab, baik dulu maupun sekarang. "Kita harus memiliki kerendahan hati dan secara pribadi untuk mengakui bahwa masih banyak hal yang harus dibenahi," katanya kepada wartawan, Selasa, 23 Juni.

Sekolah kemudian berencana mengundang Dillibe Onyeama, mantan siswa kulit hitam yang menguak rasisme di institusi pendidikan tersebut. Eton College jadi salah satu cerminan jikalau rasisme yang dikenal sebagai perilaku membeda-bedakan warna kulit, kepercayaan, ras, maupun suku, telah menjadi masalah turun temurun di institusi pendidikan Inggris.

Eton College (Annie Spratt/Unsplash)

Mengenal Eton Colloge

Jikalau ditelusuri, rasisme pada sekolah yang berlokasi di Kawasan Berkhire, London Barat, sudah lama hadir. Institusi pendidikan untuk laki-laki ini tak bisa sembarang diakses oleh orang banyak. Buktinya, dari awal Eton berdiri tahun 1440 hingga sekarang, mayoritas mereka yang menjadi siswa berasal dari kalangan kaum ningrat Inggris dan keluarga pengusaha.

Tak heran, mereka yang pernah bersekolah di Eton tergolong figur kesohor, atau setidaknya memiliki orang tua yang kesohor dari seluruh pelosok negeri. Bagaimana tidak, uang yang di keluarkan untuk sekolah di Eton bisa mencapai £34.000 atau sekitar Rp700 juta per tahun.

Tercatat 20 Perdana Menteri Inggris –termasuk Boris Johnson dan David Cameron-- pernah bersekolah di sini. Bukan cuma itu, keluarga Kerajaan Inggris, yakni Pangeran William dan Harry pun pernah merasakan status menjadi seorang Etonian --sebutan siswa Eton. Meski begitu, Eton tetap menyediakan beasiswa yang memungkinkan mereka dari keluarga kelas menengah untuk mengenyam pendidikan pada sekolah terbaik di seantero Inggris Raya.

Masalahnya, beasiswa yang dibuka sangat terbatas. Sebagaimana yang diungkap oleh Nick Fraser dalam The Importance of Being Eton (2006). Mereka yang merasa kaya kemudian menjadi sedemikian berkuasa sehingga sering meremehkan siswa lainnya. Terutama, mereka yang memiliki kulit cokelat dari bekas-bekas wilayah koloni dan protektorat-protektorat yang masih berdiri.

“Perilaku itu kemudian menjadi hal buruk berbentuk sikap arogan dan eksklusivitas. Hal ini menjadi semacam pelarian bagi mereka karena tak memiliki banyak bakat. Tetapi tak semuanya buruk. Pada akhirnya, mereka hanya memilih di antara kedua pilihan: menjadi Etonian yang bodoh atau Etonian yang jahat,” tulis Nick.

Tak hanya itu, Nick juga memandang budaya tukang gosip, tak sopan, dan penuh kesombongan merupakan budaya yang diwariskan dalam lingkungan Eton. Hal itulah yang memancing Dillibe Onyeama yang lulus dari eton pada 1969 menulis perihal rasisme yang dialaminya selama menjadi Etonian lewat buku Nigger at Eton (1972).

Dalam buku tersebut, empunya tulisan banyak bercerita seputar perilaku rasis yang selalu diterimanya sehari-hari selama bersekolah. Pertanyaan-pertanyaan nan meremehkan, seperti "berapa banyak belatung yang ada di rambutmu, Onyeama?", "pernahkan kamu makan daging manusia?" atau "apakah ayahmu seorang dukun?" kerap kali ditujukan pada Onyeama.

“Setiap kali mendengar itu, aku hampir selalu meledak. Sampai-sampai rasa emosi kemudian memuncak sehingga tiba-tiba aku memberi mereka beberapa pukulan keras di wajah dan perut. Hal itu membuat beberapa di antaranya menangis, yang kemudian mengajak teman-temannya untuk selalu berteriak dengan nada kebencian dan kegetiran yang tinggi kepada ku,” cerita Onyeama.

Sampai hari ini, rasa sakit akibat rasisme yang diterima Onyeama masih membekas. Kala Eton baru-baru mengungkap keinginan meminta maaf langsung kepadanya, Onyeama tak merespons. Ia mengatakan, permintaan maaf Eton tak perlu.

Pengalaman yang sama juga ditulis oleh peneliti terkenal Benedict Anderson yang pernah bersekolah di Eton. Dalam bukunya berjudul Hidup di Luar Tempurung (2016), Ben menceritakan terkait siswa  mayoritas di Eton yang memiliki keistimewaan. Mereka menurut Ben, mereka selalu tinggal di griya-griya mewah. Kelak, mereka hanya dapat dijumpai saat di kelas.

“Anak-anak ini, yang latar belakangnya menjamin masa depan yang nyaman atau berkuasa, tidak melihat perlunya bekerja keras. Dan secara terang-terangan merendahkan anak-anak beasiswa sebagai ‘kutu buku’ yang kelas sosialnya jauh di bawah mereka. Mereka sebenarnya juga punya keangkuhan (intelektual) mereka sendiri, dan ikatan antar mereka sangat erat. Belum pernah saya berada satu kelas dengan begitu banyak anak cerdas,” ucap Ben.

Ben juga bercerita pada zamannya bersekolah di Eton, guru-guru masih banyak yang memakai hukuman jasmani sebagai bagian dari mendidik. Sayangnya, hal itu juga yang dipraktikkan oleh oleh anak-anak senior yang mendapat izin memukuli murid-murid lebih yang lebih muda dan lebih kecil dengan alasan yang sama, yakni mendidik.

Ben tak tinggal diam. Dirinya dan beberapa kawannya di Eton, kemudian membujuk kawan-kawan sekelasnya untuk memutus tradisi ini. “Saat kami menjadi siswa senior, kami berjanji pada semua anak baru bahwa tidak akan ada lagi pemukulan --tentu saja kami, untuk sementara, jadi cukup populer.”

Namun, Ben tak cuma berbicara terkait kekurangan. Perihal kelebihan Eton, Ben juga menuliskan panjang lebar. Ben mengungkap seketat apapun Eton, lama-kelamaan siapapun akan kerasan. Dirinya lalu menyadari ketika berada di Eton kesempatan menghabiskan masa-masa serunya bersekolah sambil mencicipi kesempatan jalan-jalan ke luar negeri, baik ke paris, Belanda, Swiss, Austria, dan Italia menjadi terbuka.

Entah itu pergi bersama tantenya maupun dengan teman-teman sekolahnya. Bahkan, berkat bersekolah di Eton, Ben pun menyukai sejarah, seni, antrpologi dan bonusnya Ben meraih beasiswa untuk masuk ke Universitas Cambridge.

“Di zaman itu, anak-anak muda belajar giat untuk masuk (Eton), tapi begitu sudah masuk mereka tidak diharapkan belajar sangat keras, dan sebagai besar mereka menghabiskan waktu buat minum-minum, main kartu atau olahraga, pergi ke bioskop dan memburu gadis-gadis,” tutup Ben.