Indonesia Perlu Berperan Aktif dalam Rekonsiliasi Taliban-Afghanistan
JAKARTA - Taliban berhasil merebut pemerintahan Afghanistan setelah berperang selama dua dekade melawan pasukan pemerintah yang di dukung militer Amerika Serikat (AS) dan NATO.
Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengingatkan pemerintah Indonesia, khususnya Kementrian Luar Negeri untuk memastikan keselamatan Warga Negara Indonesia (WNI) di Afghanistan.
"Sejumlah WNI berada di sana, baik yang bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia maupun yang sedang bekerja di Afganistan secara umum. Keselamatan mereka harus jadi perhatian dari pemerintah," ujar Sukamta, Kamis, 19 Agustus.
Kondisi yang tidak menentu ini, lanjutnya, sungguh mengkhawatirkan meski Taliban telah menyatakan tidak akan mengganggu WNA, salah satunya berasal dari Indonesia.
"Walaupun ada jaminan keamanan dari Taliban, namun seperti adigium peluru tidak punya mata, harus di waspadai dan di pantau perkembangan WNI, bila perlu dan memungkinkan segera dilakukan evakuasi," tegas politikus PKS itu.
Sementara itu, mengenai peran Indonesia dalam politik luar negeri bebas aktif, kata Sukamta, dampak perang antara Taliban dengan pemerintahan Afganistan yang di dukung oleh Amerika Serikat dan NATO juga menyisakan banyak masalah.
Di mana perang telah merenggut puluhan ribu nyawa rakyat dan tentara, ratusan ribu pengungsi, kerusakan infrastruktur, hancurnya ekonomi, sosial dan pendidikan rakyat Afganistan.
Sebagai penguasa Afganistan saat ini, menurut Sukamta, Taliban harus bertanggung jawab dengan membangun Afganistan kembali secara damai. Sementara Pemerintah Indonesia, khususnya Kementrian Luar Negeri perlu untuk berperan aktif dalam rekonsiliasi damai di Afganistan.
"Indonesia memiliki hubungan baik dengan Afganistan, termasuk Taliban di dalamnya, yang kini menguasai Afganistan. Peran-peran strategis Indonesia di masa lalu menjadi modal saat ini untuk lebih berperan lebih aktif dalam upaya rekonsiliasi damai, membangun kembali Afganistan," kata legislator Yogyakarta itu.
Selain itu, Ketua Bidang Pembinaan dan Pengembangan Luar Negeri DPP PKS ini meminta pemerintah Indonesia sebagai anggota Dewan Keamanan PBB bersama masyarakat Internasional untuk mendorong Taliban agar tidak lagi menjadikan Afghanistan sebagai tempat berlindung kelompok-kelompok teroris, seperti Al Qaeda dan ISIS.
"Perang terhadap terorisme global melawan ISIS , Al Qaeda dan kelompok terorisme lainnya harus dilakukan oleh pemerintah Afganistan yang dipimpin oleh Taliban. Hal ini dilakukan agar tidak terulang perang panjang yang merugikan rakyat Afganistan," katanya.
Terkait dengan pengakuan Taliban sebagai pemimpin resmi di Afganistan, menurut Sukamta, pemerintah Indonesia harus segera menentukan sikap dengan memperhatikan situasi dan komunikasi dengan Taliban.
Baca juga:
- KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi di Kasus Suap Ditjen Pajak
- Susul Angin Prayitno, Kasubdit Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan Ditjen Pajak Ditahan KPK
- KPK Panggil Seorang Tersangka di Kasus Suap Ditjen Pajak, Dadan Ramdani
- Mural dan Grafiti ‘404: Not Found’, LBH Jakarta: Hormati Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat
"Keseriusan Taliban dalam melindungi WNA dan mengurus rakyatnya bisa menjadi syarat pengakuan Indonesia bahkan dunia internasional untuk legitimasi kepemimpinan Taliban di Afganistan," terangnya.
Wakil Ketua Bidang Politik Hukum dan Keamanan Fraksi PKS DPR ini, menambahkan saat ini ada 2,7 juta pengungsi Afganistan tersebar di berbagai negara salah satunya Indonesia. Kata dia, sudah bertahun-tahun 8000-an pengungsi Afganistan tinggal sementara di Indonesia.
Mirisnya dalam beberapa tahun terakhir terjadi peningkatan angka bunuh diri dari para pengungsi ini. Sehingga, peran Indonesia dan keseriusan dari Taliban dalam membangun kembali Afganistan di uji dalam penyelesaian masalah pengungsi ini.
"Kami Fraksi PKS DPR RI dalam isu pengungsi ini mendorong pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi Pengungsi agar Indonesia menjadi bagian dari penyelesaian masalah pengungsi dunia," demikian Sukamta.
Untuk diketahui, saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi Internasional 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi.