Moeldoko Ungkap Alasan Anggaran Penanganan COVID-19 Sisi Kesehatan Lebih Rendah Dibanding yang Lain

JAKARTA - Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menjelaskan alasan pemerintah mengeluarkan anggaran penanganan COVID-19 sisi kesehatan dengan nominal yang tidak lebih besar dari sisi lainnya. 

Adapun total anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk menanggulangi dampak COVID-19 dari 4 sisi sebanyak Rp695,2 triliun. 

Rinciannya, penanganan pada sisi kesehatan sebesar Rp87,5 triliun, sisi sosial berupa jaring pengaman (bantuan sosial) sebesar Rp203,9 triliun, sisi ekonomi sebesar Rp226,72 triliun, serta sisi keuangan seperti pembiayaan UMKM dan korporasi Rp168,3 triliun. 

Meskipun anggaran penanganan COVID-19 dari sisi kesehatan tak lebih besar, namun hal ini tetap menjadi prioritas utama. 

"Yang menjadi prioritas utama adalah sisi kesehatan menangani COVID-19. Tetapi, tiga sisi lain ini tidak bisa ditinggalkan karena harus berjalan beriringan. Jadi, tidak benar bahwa pemerintah mengutamakan aspek ekonomi," kata Moeldoko dalam diskusi webinar, Selasa, 23 Juni. 

Moeldoko melanjutkan, ada tiga tujuan utama pemerintah yang menjadi dasar penanganan COVID-19. Pertama, masyarakat harus aman dari COVID-19. Kedua, masyarakat harus bisa terjaga tetap makan dengan baik atas dasar itulah, pemerintah memberikan kebijakan perluasan bantuan sosial. 

Ketiga, pemerintah berkeinginan agar para pengusaha, baik pekerja UMKM maupun level korporasi bisa melanjutkan kegiatan usahanya dengan menekan adanya PHK.

"Ada sejumlah program pemerintah untuk menekan angka PHK, seperti insentif UMKM yang menyerap lebih dari 90 persen tenaga kerja yaitu insentif pajak, restrukturisasi kredit, pemberian kredit modal kerja baru, subsidi bunga, dan penjaminan kredit," jelas Moeldoko. 

Lebih lanjut, Moeldoko menyebutkan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan lima arahan dalam evaluasi kebijakan penanggulangan COVID-19 yang dijalankan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. 

Pertama, perlunya prakondisi dan sosialisasi protokol kesehatan sebaik-baiknya agar masyarakat masih tetap disiplin. "Misalnya, mengenakan masker, cuci tangan, menjaga jarak, dan semaksimal dan mungkin untuk tidak berada di dalam kerumunan," ucap dia. 

Kedua, penentuan waktu dalam menetapkan kebijakan disertai data yang akurat. Daerah yang akan melakukan pelonggaran menuju kenormalan baru harus memperhatikan masalah waktu dengan sebaiknya.

"Pelonggaran tidak dilakukan grasa-grusu, harus didukung data yang akurat. Bagaimana persoalan epidemiologisnya, bagaimana pengawasan perkembangan penyakit, bagaimana melakukan kesiapan di daerah terkait sarana dan prasarana kesehatan terpenuhi atau tidak," jelasnya. 

Ketiga, menetapkan prioritas sektor. Penentuan kebijakan masa adaptasi harus ditentukan dari daerah yang memiliki risiko kesehatan paling rendah. Kemudian, kebijakan juga memprioritaskan dampak ekonomi yang tinggi.

"Jadi, pada daerah zona hijau pasti menjadi prioritas utama, juga dari sisi ekonomi pada sektor yang memiliki nilai ekonomi tinggi itulah yang menjadi prioritas," jelasnya. 

Keempat, penentuan daerah menuju kenormalan baru itu harus terkoodinasi dengan baik antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan begitu, kebijakan yang diputuskan bersama tidak menimbulkan kontradiksi di lapangan. 

Kelima, selalu melakukan evaluasi atas kebijakan secara rutin dari waktu ke waktu. "Sehingga, kebijakan yang dijalankan bisa terukur dengan baik, dan bisa dilihat perkembangannya dari waktu ke waktu," tutup dia.