Panggilan Para Pelacur Senen yang Menginspirasi Poster Masyhur 'Boeng, Ajo Boeng'

JAKARTA - Kecintaan Presiden Pertama Indonesia, Soekarno terhadap seni tak perlu diragukan lagi. Sejumlah literatur mengonfirmasi.

Saking cintanya Soekarno dengan seni, Cindy Adams penulis buku biografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965), pernah menulis:

Cara paling mudah melukiskan Bung Karno ialah dengan menamakannya seorang yang maha‐pencinta. Ia mencintai negerinya, ia mencintai rakyatnya, ia mencintai wanita, ia mencintai seni dan melebihi daripada segala‐galanya ia cinta kepada dirinya sendiri.

Selepas Bung Karno dan Hatta mengumandangkan proklamasi kemerdekaan yang mampu membakar segenap semangat bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945, Bung Karno tak lengah. Kelak, dirinya mengajak seluruh rakyat untuk selalu waspada atas ngebetnya Belanda merebut kembali Hindia-Belanda.

Kekuatan pun dihimpun. Senjata disiapkan. Modal dicari. Dan para seniman kemudian dilibatkan untuk membakar semangat rakyat lewat karyanya. Pada fase ini, Bung Karno telah membuktikan bahwa revolusi tak hanya bermodal bedil, pendanaan dan benda tajam.

Lebih dari itu, revolusi membutuhkan sentuhan seni untuk membakar semangat bangsa, semangat menjaga kemerdekaan. "Akan tetapi aku bersyukur kepada yang maha pencipta, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni. Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa menjadi Pemimpin Besar Revolusi, sebagairnana 105 juta rakyat menyebutku?” tertulis.

“Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa memimpin bangsaku untuk merebut kembali kemerdekaan dan hak‐asasinya, setelah tiga setengah abad dibawah penjajahan Belanda? Kalau tidak demikian bagaimana aku bisa mengobarkan suatu revolusi di tahun 1945 dan menciptakan suatu Negara Indonesia yang bersatu, yang terdiri dari pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku dan bagian lain dari Hindia Belanda?” sambungnya.

Lahirnya poster “Bung, Ayo Bung”

Tak heran, Bung Karno langsung mengamanatkan kepada pelukis terkenal di zamannya, Affandi, guna membesut sebuah poster untuk mengobarkan semangat rakyat Indonesia. Dikutip dari Seno Joko Suyono dan Andi Dewanto di Majalah Tempo berjudul Pipa Cangklong, Rubiyem, dan Kolonel Sanders (2007), ia menceritakan detailnya.

Pada 1945, Affandi mendapat tugas membuat poster perjuangan. Bung Karno menegaskan pesanannya harus memuat gambar orang yang dirantai dan rantai yang telah putus. Kebetulan yang menjadi model pada saat itu pelukis Dullah. Alhasil, setelah selesai menggambar, Affandi nampaknya butuh sebuah kata-kata yang bernas, yang sekiranya mampu membangkitkan gelora semangat perjuangan.

Beruntung, penyair kesohor Chairil Anwar lewat. Tanpa basa-basi pelukis Soedjojono --kakek dari Arian Arifin Wardiman vokalis band Seringai-- menanyakan kata-kata apa yang cocok untuk lukisan Affandi. “Dengan enteng, Chairil menjawab, 'Bung Ayo Bung!'”

Maka, paripurnalah poster yang dibuat oleh Affandi dengan kata sumbangan dari penyair yang berjuluk Sang Binatang Jalang. Setelahnya, poster itu kemudian diperbanyak untuk dikirim ke berbagai daerah oleh sekelompok pelukis siang dan malam.

Seketika, irama “Bung, Ayo Bung” mengelegar sebagai ungkapan heroik, yang seolah-oleh mampu membangkitkan narasi melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Uniknya, teman-teman seniman mencoba mengulik kepada Chairil darimana inspirasi dari ungkapan tersebut. Langsung saja, tanpa malu-malu Chairil bercerita bahwa ungkapan “Bung, Ayo Bung” berasal dari ucapan pelacur Senen saat menawarkan jasanya.

Tiap kali pelanggan datang, nada genit nan lemah lembut langsung keluar dari mulut pelacur: Bung. Ayo, Bung. Sontak rekan-rekan seniman yang mendengar tak mampu menahan tawanya. Mereka tak menduga hal yang menjadi inspirasi Chairil dalam membuat ungkapan magis berasal dari wanita tunasusila.

Namun, apa pun itu, ungkapan yang berawal dari mengajak seseorang lelaki hidung belang ke ranjang, justru memiliki peran dalam revolusi yang panjang. Dan disitulah hebatnya seseorang yang dianggap sebagai pelopor angkatan 45.

Disinyalir, ungkapan itu sering terdengar oleh Chairil yang saban hari menghabiskan waktu di Pasar Senen. Waktu itu, Pasar Senen dikenal sebagai episentrum seniman Jakarta. “Pada masa pendudukan Jepang 1942-1945, Pasar Senen juga menjadi tempat persinggahan para seniman, karena penyair Chairil Anwar sering muncul disitu,” tulis Misbach Yusa Biran dalam buku Keajaiban di Pasar Senen (1971).

Meski begitu, kata 'bung' yang berada dalam poster, jika ditelusuri memang akrab digunakan pada masa revolusi. Buktinya, peneliti sekelas Benedict Anderson yang datang ke Indonesia 1961 mengungkap hal yang sama. Lewat bukunya yang berjudul Hidup di Luar Tempurung (2016), Ben mengungkap kata 'bung' merupakan kata yang sering digunakan secara luas dan mengandung makna kesetaraan dan persaudaraan.

Lazimnya, kata ini digunakan sebagai panggilan antarsesama laki-laki yang sepantaran. Sebagai bukti, Putra Sang Fajar, Soekarno dikenal luas dengan sebutan 'bung' yang menandakan bahwa antara dirinya dan rakyat Indonesia tak memiliki sekat yang memisahkan. Apalagi, kata 'bung' sering kali disejajarkan dengan "citizen" dalam Revolusi Prancis, atau "kamerad" dalam Revolusi Rusia.