Gelombang Lanjutan COVID-19 di Beijing Ingatkan Kita Virus Corona Belum Lenyap

JAKARTA - Selama 55 hari, Ibu Kota China Beijing belum melaporkan adanya infeksi yang ditularkan secara lokal. Kehidupan kembali normal, bisnis dan sekolah dibuka kembali. Orang-orang pun kembali bekerja. Angkutan umum dan taman kota kembali dipenuhi banyak orang. Bahasa lainnya, Beijing menjalani kenormalan baru.

Namun, harapan menjalani kenormalan baru senormal-normalnya itu hancur minggu lalu. Beberapa kasus COVID-19 baru muncul dari pasar makanan grosir terbesar di kota itu. Sebanyak 180 orang dikabarkan terinfeksi COVID-19 pada Jumat, 12 Juni, pekan lalu.

Dalam hitungan hari, kota metropolitan yang berpenduduk lebih dari 20 juta orang itu kembali melakukan lockdown, meski tidak sebesar sebelumya. Pihak berwenang memperkenalkan kembali langkah-langkah yang digunakan sebelumnya untuk melawan gelombang pertama COVID-19.

Mereka menutup perumahan, sekolah, dan melarang ratusan ribu orang yang dianggap berisiko menularkan virus meninggalkan Beijing. Sekitar 356 ribu orang diuji hanya dalam lima hari.

Beijing sebelumnya dianggap sebagai kota paling aman dari COVID-19 di China. Namun, kembalinya kasus COVID-19 jadi pengingat yang gamblang tentang betapa mudahnya virus itu kembali ke tempat-tempat di mana virus itu dianggap telah dijinakkan.

Melansir CNN, Jumat, 19 Juni, lima hari sebelum dimulainya wabah saat ini, pihak berwenang Beijing baru saja menurunkan tingkat peringatan darurat kesehatan masyarakat dari Level 2 ke Level 3. Kini status kesehatan di Beijing dinaikkan kembali ke Level 2 pada Selasa 16 Juni malam.

Kasus serupa terjadi belakangan ini. Korea Selatan, negara yang paling sering dipuji karena keberhasilannya mengontrol virus kembali berjuang melawan lonjakan kasus COVID-19 sejak akhir Mei. Lonjakan virus terjadi setelah pelonggaran aturan jarak sosial dan pembukaan kembali sekolah. Singapura juga dianggap memiliki kisah sukses menghalau COVID-19, hingga akhirnya terdapat gelombang kasus COVID-19 pada April di antara pekerja migran yang tinggal di asrama penuh sesak.

"Wabah (kedua) di Beijing ini mungkin tidak dimulai pada akhir Mei atau awal Juni, tetapi mungkin sebulan sebelumnya," kata Gao Fu, direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) China, pada pertemuan di Shanghai.

Kasus baru di Beijing adalah kebangkitan COVID-19 terburuk. Pihak berwenang masih berusaha melacak sumbernya. Sebelumnya, laporan telah menghubungkan wabah dengan pasar makanan laut atau daging, setelah jejak virus dilaporkan terdeteksi pada talenan yang digunakan oleh penjual salmon impor di pasar.

Namun, sekarang ada kekhawatiran bahwa virus telah menyebar selama berminggu-minggu sebelum pertama kali terdeteksi. "Pasti ada banyak kasus asimptomatik atau ringan di (pasar), itu sebabnya virus telah terdeteksi begitu banyak di lingkungan tersebut," katanya.

Bukti dari kasus di Amerika Serikat (AS) menunjukkan antara 25 persen hingga 45 persen dari orang yang terinfeksi kemungkinan tidak memiliki gejala. Studi epidemiologi juga menunjukkan bahwa orang-orang tanpa gejala juga dapat menularkan virus kepada seseorang yang tidak terinfeksi.

Selama beberapa bulan terakhir, beberapa ahli kesehatan China telah memperingatkan kemungkinan gelombang kedua. Bahkan ketika media pemerintah China berulang kali memuji keberhasilan pemerintah dalam mengatasi wabah tersebut dan menyindir kegagalan negara Barat dalam menghadapi COVID-19.

Kendali China

Pada Kamis, 18 Juni, Wu Zunyou, kepala ahli epidemiologi CDC China, memberikan nada kemenangan. Ia menyatakan bahwa wabah di Beijing "terkendali." Wu mengatakan bahwa masih ada kemungkinan bahwa akan ada kasus baru yang dikonfirmasi terkait dengan pasar grosir tersebut.

Ia juga mengatakan bahwa tidak akan ada kasus baru dari transmisi baru. "Akan ada kasus yang dilaporkan besok dan lusa. Kasus yang dilaporkan adalah dari deteksi sebelumnya. Bukan infeksi baru. Infeksi baru hanya sporadis," kata Wu.

Kepala ahli epidemiologi mengatakan bahwa tidak terduga untuk melihat wabah baru di Beijing, mengingat banyaknya kasus global baru. "Selama ada risiko kasus impor, infeksi impor dan kelompok kecil yang disebabkan oleh infeksi impor mungkin terjadi di mana saja di China. Dari sudut pandang ini, (wabah Beijing) adalah normal," tutup Wu.