Anggota Komisi III DPR Sarankan Majelis Hakim Bebaskan Reyndhart Rossy Siahaan

JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Hinca Panjaitan menilai, sebaiknya majelis hakim membebaskan Reyndhart Rossy Siahaan dari segala tuntutan hukum. Sebab, ganja yang dikonsumsi untuk kebutuhan medis atau mengobati penyakitnya, bukan untuk mabuk.

Apalagi, kata Anggota Komisi Hukum ini, berdasarkan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika mengamanatkan bahwa ada jaminan ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

"Bagi saya, Reyndhart (Rossy Siahaan) harus bebas. Tidak ada abu-abu. Alasannya sederhana, Pasal 4 itu menjamin kesediaan narkotika untuk pelayanan kesehatan atau ilmu pengetahuan," kata Hinca dalam diskusi Tentang Pemenjaraan Pengguna Ganja Medis yang ditayangkan di akun YouTube VOI, Kamis, 18 Juni.

Selain itu, Hinca juga mengutip Pasal 4 ayat (2) UU Narkotika menyatakan bahwa penegak undang-undang harus mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika. Sebab, Reyndhart merupakan korban dari pemakaian narkotika yang masuk golongan I itu.

"Maka itu, di awal saya bilang, riset dulu, teliti dulu biar clear. (kepada) Penegak hukum, cepat-cepat berhenti. Itu adalah dosa terbesar, jika jaksa dan hakimnya memenjarakan korban," ujar Hinca tegas.

>

Melanjutkan, kuasa hukum Reyndhart, Herie CN berharap kliennya segera dibebaskan dari rumah tahanan. "Harusnya dibebaskan sesuai dengan masa tahanan, karena dia sudah menjalani hukuman yang berjalan 7 bulan," ujar Herie. 

Semestinya, hari ini Reyndhart dijadwalkan menjalani sidang putusan atas kasus penggunaan ganja untuk kebutuhan medis. Namun, sidang kembali ditunda karena salah satu anggota majelis hakim berhalangan hadir. 

"Hari ini harusnya agendanya pembacaan putusan. Namun, salah satu anggota hakim berhalangan hadir karena sakit. Jadi, ditunda sampai hari senin besok," tutur Herie. 

Reyndhart, pria asal Jakarta yang merantau ke Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk berbisnis ditangkap Kepolisian NTT karena kedapatan memiliki ganja di kosnya pada 17 November 2019. Ganja itu dimiliki Reyndhart semata-mata untuk mengobati penyakit saraf tulang belakang yang dideritanya sejak 2015.

"Klien kami menderita sakit saraf tulang belakang sejak 2015 dan kembali kambuh pada 2018," kata Herie. 

Dia menceritakan awal mula kliennya menggunakan ganja untuk medis. Sejak penyakitnya kambuh, kliennya mencari informasi mengenai obat yang bisa menyembuhkan penyakitnya.

Informasi yang didapat kliennya dari internet menyebutkan pengobatan alternatif dengan meminum air rebusan ganja. Reyndhart memberanikan diri untuk mencobanya.

Setelah mencoba air rebusan ganja, sakit yang diderita kliennya berkurang. Akhirnya dia kemudian kembali memesan ganja seharga Rp 3 juta demi kesembuhan sakit yang dideritanya.

Pada November 2019, Satuan Narkoba Polda NTT mendapatkan informasi ada sejumlah ganja yang akan masuk ke Labuan Bajo. Saat itulah polisi menangkap Reinhart.

Reinhart ditangkap di Manggarai Barat. Polisi menyita ganja seberat 428,2600 gram. Diduga barang itu dipesan oleh Reinhart.

Saat ini, Reinhart tengah duduk di kursi pesakitan. Dia dituntut satu tahun penjara dan dijerat pasal 127 ayat 1 huruf a UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang penyalahgunaan narkotika.

Masalah UU Narkotika

Koalisi Masyarakat Advokasi Penggunaan Narkotika untuk kesehatan mendorong peradilan yang berkemanusiaan dalam kasus ini. Mereka mendorong Majelis Hakim membebaskan Reyndhart dari segala tuntutan. Sebab, ganja tersebut dimiliki dan digunakan untuk kepentingan medis.

"Koalisi mendorong Majelis Hakim agar mengedepankan keadilan dan kemanfaatan hukum. Sehingga sudah tepat dan sangat adil apabila Majelis Hakim bersedia untuk membebaskan Reyndhart Siahaan dari segala dakwaan," kata Juru Bicara Koalisi Ma'ruf Bajammal lewat siaran pers yang diterima VOI.

Dorongan yang sulit dibayangkan ketika UU 35/2009 bermasalah masih belum berubah. Namun, sebagai harapan, yang disampaikan koalisi sejatinya amat masuk akal. Artinya, proses hukum harus berjalan sesuai keadilan. Koalisi tahu, UU 35/2009 banyak dipermasalahkan. Perspektif pengguna sebagai korban penyalahgunaan narkotika kerap luput dari proses peradilan.

Koalisi pernah membahas masalah UU ini lewat artikel "Asal Muasal UU Narkotika di Indonesia dan Segudang Masalah di Baliknya". UU ini mengandung banyak masalah. Selain usang, tak terpenuhinya perspektif pengguna sebagai korban penyalahgunaan kerap berimplikasi pada pemenjaraan pengguna. Begitu banyak orang yang masuk sebagai pengguna dan keluar sebagai pengedar.

"Sebab pengguna bukan kriminal dan mereka harus didukung bukan dikurung," kata Bajammal.

Koalisi yang terdiri dari LBH Masyarakat, Lingkar Ganja Nusantara (LGN), ICJR, Rumah Cemara, IJRS, EJA, Yakeba ini juga kembali mendesak pemerintah meninjau ulang kebijakan narkotika Indonesia. Kasus Reyndhart harus jadi momentum membuka mata.

Penelitian terhadap manfaat ganja harus dilakukan. Hal itu penting sebagai dasar mengubah UU 35/2009 yang lahir dari ratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1961. Bagi Koalisi, UU ini tak cuma usang, tapi juga melanggar hak pemenuhan kesehatan masyarakat.

Revisi UU

Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 memang melarang penggunaan narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan. Namun, Koalisi mengingatkan bahwa maksud asli dari UU Narkotika justru bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk pelayanan kesehatan.

Sebagaimana tertulis pada Pasal 4 huruf a UU Narkotika. Koalisi menilai bahwa tidak semestinya UU Narkotika melarang pemanfaatan narkotika untuk pelayanan kesehatan.

Lebih lanjut, Koalisi menegaskan bahwa kriminalisasi yang terjadi pada masyarakat seperti Reynhardt dan Fidelis bertentangan dengan tujuan utama keberadaan narkotika yang sejatinya adalah untuk kesehatan masyarakat Indonesia. Seperti termaktub dalam Pasal 28H ayat 1 UUD 1945, disebutkan bahwa hak atas pelayanan kesehatan sebagai hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi.

"Oleh karena itu, jelas bahwa pelarangan narkotika untuk narkotika golongan I untuk medis bertentangan dengan norma hak atas kesehatan. Belajar dari kasus Fidelis dan Reynhardt, sudah waktunya Indonesia membuka diri dan menyediakan kesempatan pemanfaatan narkotika golongan I guna pelayanan kesehatan," katanya.