Angka Kematian COVID Dihapus: Begini Rasanya Hidup dan Mati di Negara yang Melihat Nyawa Sekadar Angka

JAKARTA - Pemerintah menghapus angka kematian dari indikator penanganan COVID-19. Keputusan ini dipertanyakan karena berbau manipulasi. Pemerintah juga dianggap buta melihat kematian sebatas angka. Tiada alasan masuk akal. Keputusan ini ceroboh dan bisa mencelakai banyak masyarakat.

Senin, 9 Agustus, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) hingga 16 Agustus. Pengumuman disampaikan Luhut lewat kanal YouTube Sekretariat Presiden.

Selain mengumumkan periode perpanjangan PPKM, Luhut juga menyatakan pemerintah akan menghapus angka kematian dari indikator penanganan COVID-19. Penyebabnya kata Luhut karena masalah dalam input data yang disebabkan akumulasi dari kasus kematian di beberapa pekan sebelumnya.

"Evaluasi tersebut kami lakukan dengan mengeluarkan indikator kematian dalam penilaian karena kami temukan adanya input data yang merupakan akumulasi angka kematian selama beberapa minggu ke belakang sehingga menimbulkan distorsi dalam penilaian," tutur Luhut, dikutip VOI, Selasa, 10 Agustus.

>

Alasan tak masuk akal. Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman mengatakan problem data adalah masalah lama. Pemerintah tak terlihat risau selama ini. Padahal hingga kini Indonesia belum memiliki data faktual. Selain itu pendataan juga tidak memenuhi skala penduduk dan eskalasi pandemi.

"Karena bicara misalnya angka kasus harian saja, itu sengkarutnya banyak. Baik dari sisi bahwa tes itu tidak bisa realtime, tetap ada. Tes itu kan bukan hari itu, tapi yang berapa hari kemudian," tutur Dicky kepada VOI.

Pun secara logika, ketika ada masalah pendataan, seharusnya diperbaiki, bukan justru menghilangkannya. Dicky menjelaskan angka kematian adalah indikator wajib. Menghilangkannya akan berdampak sangat serius. Strategi penanganan bisa memburuk. Dampaknya celaka bagi masyarakat.

"Dampaknya sangat serius, ya, artinya kita akan buta terhadap situasi. Indikator kematian adalah indikator wajib. Jadi indikator pandemi itu ada indikator awal dan akhir. Indikator awal adalah kasus harian, TPR (test positivity rate). Kalau indikator akhir itu selain hunian rumah sakit, ICU, itu kematian," tutur Dicky.

Kematian bukan sekadar angka

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Apa yang dilakukan pemerintah sejatinya menunjukkan kedangkalan cara berpikir. Sangat jelas bagaimana pemerintah hanya melihat kematian sebagai angka. Cara berpikir ini bukan saja tak sensitif tapi berbahaya.

Dicky Budiman menjelaskan bagaimana satu kematian amat penting untuk dimaknai. Dalam situasi penanganan pandemi yang dinamis, satu kematian bisa berarti banyak.

Yang paling sederhana, data kematian seseorang perlu didalami untuk digunakan sebagai dasar menentukan strategi mencegah kematian lain. Maka strategi apa yang diharapkan tanpa data kematian?

"Tentunya penghilangan ini tidak hanya tentang angka kematian tak terdeteksi tapi juga menunjukkan kita ketika menyusun strategi tidak memiliki data yang kuat," tutur Dicky.

"Kita bisa lihat kenapa dia meninggal. Oh ternyata telat ditemukan. Kenapa telat? Ternyata dia tidak mendapatkan testing cepat. Kematian kenapa juga terjadi pada mereka yang sudah divaksin lengkap. Nah ini kan data-data yang penting untuk perbaikan strategi."

"Di negara maju, bahkan satu kematian itu menjadi kasus untuk jadi pelajaran. Kenapa kematian ini terjadi. Nah kita hilang jadinya informasi yang harusnya bisa digali sebagai perbaikan strategi. Ini tentunya berpengaruh pada kualitas penanganan pandeminya. Hilang datanya," Dicky melengkapi penjelasannya.

Bahaya manipulasi

Jika bukan kedangkalan berpikir, maka alasan pemerintah menghapus angka kematian sebagai indikator penanganan pandemi bisa jadi lebih berbahaya: manipulasi. Pemerintah dinilai sengaja menghilangkan angka kematian untuk memunculkan kesan pandemi tertangani dengan baik.

Indikasinya dapat kita lihat. Penghapusan angka kematian dari indikator penanganan COVID-19 itu langsung berdampak pada 26 kabupaten/kota, yang level PPKM-nya turun dari level 4 jadi level 3.

"Hal ini menunjukkan perbaikan kondisi di lapangan yang cukup signifikan," kata Luhut menjelaskan situasi pandemi terakhir.

Ilustrasi foto (Sumber: Antara)

Upaya manipulasi ini jadi berbahaya. Menurut Dicky menghilangkan angka kematian dari indikator hanya akan menimbulkan kesan baik bahwa pandemi tertangani. Fakta lapangan belum tentu begitu.

"Ini yang berbahaya karena ketika indikator yang digunakan untuk pelonggaran bukan TPR (test positivity rate) melainkan menghilangkan kematian, ya berbahaya karena kita tidak melihat secara komprehensif. Navigasinya tuh enggak lengkap."

Menghilangkan indikator kematian juga bisa dilihat sebagai upaya menghapus dosa pemerintah. Selain untuk menunjukkan tingkat keparahan, angka kematian juga dapat digunakan untuk mengukur respons otoritas pemerintahan terhadap situasi pandemi.

"Kenapa data angka kematian penting itu untuk melihat ke belakang. Bahwa jelas satu kematian itu menunjukkan ada kegagalan dalam intervensi di hulu. Kegagalan itu menyebabkan keterlambatan. Keterlambatan dideteksi, dirujuk, dan ditangani," kata Dicky.

"Misalnya sepuluh hari terakhir menjelang akhir PPKM kemarin, itu kalau kita hitung bahwa 21 hari lalu banyak sekali kasus yang tidak terdeteksi kan. Itu potensinya bisa satu jutaan. Itu yang bergejala dan tidak bergejala."

"Betul bahwa sebagian akan pulih sendiri, tapi kan akan ada yang proses penularan terus terjadi kalau tidak dideteksi. Kedua akan jadi beban gilirannya pada fasilitas kesehatan dan meningkatkan angka kematian di masyarakat. Nah ini fungsi angka kematian. Selain melihat tingkat keparahan juga mengukur respons kita di hulu," Dicky.

*Baca Informasi lain soal COVID-19 atau baca tulisan menarik lain dari Diah Ayu Wardani, Wardhany Tsa Tsia, dan Yudhistira Mahabharata.

BERNAS Lainnya