Meningkatkan Kekuatan Badan Antikorupsi Lewat Amandemen

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan agar badan-badan antikorupsi dimasukkan ke dalam konstitusi melalui wacana amandemen 1945. Sehingga pemberantasan korupsi akan semakin kuat. Baik itu dari jumlah sumber daya manusianya maupun dari anggaran.

Namun, usulan KPK ini tidak serta merta diterima begitu saja. Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu menilai usulan tersebut berlebihan. Sebab, menurut dia, amanat pemeberantasan korupsi sudah tercantum dalam TAP MPR XI tahun 1998.

Bagi Masinton, agenda pemberantasan Korupsi adalah amanat reformasi. Karena itu, tidak perlu hal tersebut masuk dalam konstitusi lewat amendemen UUD 1945. Termasuk banyak aturan turunan di bawahnya untuk penguatan pemberantasan korupsi.

"Ada UU Tipikor, TAP MPR nomor 11 tahun 1998 tentang penyelenggaraan negara yang bebas bersih dari KKN. Kemudian berbagai amanat perundang-undangan lainnya termasuk UU KPK," kata Masinton, ketika dihubungi VOI.id, di Jakarta, Rabu, 11 Desember.

Politikus PDIP ini menilai, KPK seakan terlalu melebar jika ingin memasukkan Badan antikorupsi ke dalam konstitusi. Padahal, wacana amendemen UUD 1945 akan dilakukan terbatas dan tidak melebar ke isu pemberantasan korupsi.

"KPK enggak usah genit (dengan) wacana amandemen undang-undang dasar ini. Ini amandemen dilakukan secara terbatas sehingga tidak perlu melebar kemana-mana," ucapnya.

Tidak seperti PDIP yang menolak masuknya badan-badan antikorupsi ke dalam konstitusi, dukungan justru datang dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Politikus PKS, Nasir Djamil mengaku, setuju bila keberadaan badan-badan antikorupsi masuk dalam konstitusi seperti yang diusulkan oleh Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.

Nasir menjelaskan, PKS seperti yang dipaparkan Presiden PKS Sohibul Iman setuju bahwa amandemen UUD 1945 harus memasukan badan-badan antikorupsi ke dalam wacana amandemen.

Dengan masuknya Badan anti Korupsi ke dalam konstitusi, kata Nasir, akan menjawab pertanyaan mengenai status lembaga pemberantasan korupsi seperti KPK apakah ad-hoc atau permanen.

Tak hanya itu, menurut Nasir, dengan masuknya badan antikorupsi ke dalam UUD 1945 maka lembaga seperti KPK wajib keberadaanya.

"Karena itu memang sebenarnya niat orang untuk korupsi selalu ada. Selama ada kekuasaan, selama itu ada potensi untuk korupsi. Karenanya memang masuk akal kemudian PKS mengusulkan agar badan antikorupsi dimasukkan dalam amandemen konstitusi," tutur Nasir.

Meski begitu, anggota Komisi III ini sadar usukan badan antikorupsi masuk ke dalam konstitusi akan memicu perdebatan. Salah satu alasannya, permasalahan korupsi yang tak kunjung usai.

"Tentu ini pasti akan diperdebatkan. Karena satu sisi kita mengenai korupsi tak kunjung selesai. Saya pun berbicara tentang pencegahan dan penindakan PKS menyampaikan itu bahwa badan antikorupsi perlu dimasukkan sebagai bentuk dan komitmen kita terkait dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," jelasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang, mengusulkan amendemen Undang-Undang Dasar 1945 terkait badan pemberantasan korupsi. Langkah tersebut agar Indonesia dapat konsisten dalam memberantas korupsi.

Menurut dia, pemerintah perlu lebih konsisten menegakkan pemberantasan korupsi. Sebab banyak deklarasi-deklarasi antikroupsi bertaraf internasional yang sudah diratifikasi Indonesia. 

Negara-negara lain dipandang Saut lebih konsisten mengenai hal ini. Misalnya 81 negara selain Indonesia yang telah memasukkan instansi antikorupsi secara spesifik dalam konstitusi mereka.