Pembagian Jam Kerja Dinilai Menguntungkan Pekerja
JAKARTA - Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 pusat mengeluarkan surat edaran (SE) terkait pembagian jam kerja. Hal ini untuk mengantisipasi penumpukan penumpang di berbagai moda transportasi umum. Sehingga, jaga jarak fisik atau pshycal distancing berjalan dengan baik guna mencegah penyebaran virus ini.
Dalam SE itu, jam kerja para pekerja atau karyawan di Jabodetabek di bagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mulai bekerja pada pukul 07.00 WIB sampai pukul 15.00 WIB, dan kelompok dua dari pukul 10.00 WIB-18.00 WIB. Dengan begitu, dua kelompok ini sama-sama bekerja 8 jam sehari.
Analisis Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah menilai, SE ini hanya menguntungkan pekerja dan merugikan pengusaha. Menurut dia, dengan menerapkan aturan ini pengeluaran perusahaan diyakini akan membengkak.
"Tujuannya memang baik tetapi kalau dilihat di sisi pengusaha tentu akan berat. Apalagi kondisi saat ini banyak pengusaha yang mungkin sudah susah payah agar usahanya tetap bertahan," kata Trubus kepada VOI, Senin, 15 Juni.
Pengeluaran yang membengkak itu di biaya operasional. Kata dia, dengan pola kerja ini otomatis biaya operasional akan meningkat. Salah satunya adalah pemakaian listrik di gedung perkantoran akan naik.
Untuk itu, jika pemerintah ingin pengusaha menerapkan surat edaran itu, seharusnya ada kebijakan yang menguntungkan kedua belah pihak. Salah satunya dengan memotong atau mengurangi tarif listrik.
Namun, jika itu tidak dilakukan, dia yakin banyak perusahaan yang bakal gulung tikar. Sehingga, target memulihkan ekonomi negara yang anjlok akibat COVID-19 akan sia-sia.
"Harus ada kebijakan juga untuk perusahaan. Supaya tidak terbebani dan perekonomian kemungkinan akan berjalan normal," ungkap Trubus.
Surat edaran tidak mengikat
Dalam kesempatan ini dia mengatakan, bisa saja perusahaan tidak mengikuti aturan itu. Sebab, aturan ini tidak mengikat dan melainkan bersifat imbauan. Tidak ada dasar hukum yang mewajibkan para perusahaan swasta untuk menerapkannya.
"Itu hanya surat edaran yang tidak ada dasar hukumnya karena sifatnya imbauan. Pertanyaannya, apakah pihak swasta akan menerapkannya? Toh tidak ada hukuman juga kan?," kata Trubus.
Sehingga, jika imbauan ini memang benar-benar langkah yang tetap untuk mengurangi penyebaran COVID-19, sebaiknya dibuat menjadi peraturan pemerintah yang wajib dijalankan.
Namun, dalam implementasinya harus ada kebijakan yang menguntungkan bagi pihak perusahaan. Sehingga, nantinya tidak ada pihak yang bermain dalam aturan tersebut.
"Intinya harus ada keuntungan di dua pihak. Sejauh ini kam surat edaran itu sifatnya hanya imbauan. Makanya, untuk mempertegas seharusnya dibuat peraturan yang jelas," tandas Trubus.