May Day dan Isu-isu Ketenagakerjaan di Indonesia
Buruh di salah satu pabrik menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai). (Antara)

Bagikan:

Hari Buruh Internasional atau May Day diperingati setiap tanggal 1 Mei di seluruh dunia. Di Indonesia, peringatan ini seringkali disertai dengan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh para buruh. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, masalah-masalah yang dihadapi oleh para buruh juga semakin kompleks. Salah satu masalah yang sering muncul adalah perbedaan kepentingan antara buruh dan pengusaha. Para buruh sering merasa bahwa hak-hak mereka diabaikan oleh para pengusaha, seperti halnya tuntutan pencabutan Omnibus Law dan perubahan UU Cipta Kerja.

Para buruh juga menghadapi masalah terkait dengan pengurangan upah oleh para pengusaha. Beberapa waktu lalu, para buruh bahkan menggelar aksi unjuk rasa sebagai bentuk protes terhadap Permenaker Nomor 5 Tahun 2023 terkait aturan yang dinilai memperbolehkan pengusaha untuk memotong upah buruh hingga 25 persen. Namun, di sisi lain, para pengusaha juga menghadapi masalah tersendiri, terutama terkait dengan kenaikan upah minimum pekerja. Polemik antara buruh dan pengusaha terkait penetapan upah minimum tahun 2023 menjadi salah satu contoh yang menggambarkan perbedaan kepentingan kedua pihak.

Tidak bisa dipungkiri bahwa masalah ketenagakerjaan di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kondisi perekonomian negara yang belum stabil. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama yang baik antara buruh, pengusaha, dan pemerintah untuk menyelesaikan berbagai masalah yang ada. Momentum peringatan Hari Buruh dapat dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk memperkuat kebersamaan dan memperbaiki kondisi ketenagakerjaan di Indonesia.

Sejak awal revolusi industri pada abad ke-18, hubungan antara buruh dan pengusaha selalu menjadi masalah yang menarik perhatian banyak pihak. Perbedaan kepentingan yang mencolok antara kedua pihak tersebut, sering kali menghasilkan konflik dan ketegangan yang berkepanjangan. Meskipun begitu, di Indonesia sendiri, Hubungan Industrial antara buruh dan pengusaha diperkirakan telah berlangsung lebih dari satu abad.

Seiring berjalannya waktu, konflik yang terjadi antara buruh dan pengusaha pun menjadi semakin kompleks. Beberapa isu seperti pengupahan, jam kerja, hak karyawan, perlindungan kerja, serta hak perundingan seringkali menjadi topik utama dalam diskusi dan aksi yang diorganisir oleh buruh. Sebagai contoh, aksi May Day yang akan diadakan oleh ribuan buruh pada 1 Mei 2023, menuntut pencabutan Omnibus Law Cipta Kerja, peningkatan upah minimum, dan lainnya.

Di sisi lain, pengusaha juga memiliki kepentingan yang tidak kalah penting. Mereka menginginkan produktivitas dan efisiensi yang tinggi dalam operasional bisnisnya agar dapat bersaing di pasar global. Untuk mencapai hal tersebut, pengusaha membutuhkan regulasi dan kebijakan yang pro-bisnis, termasuk di dalamnya adalah fleksibilitas dalam hal pengupahan dan hak perundingan. Dalam kenyataannya, hal ini seringkali berbenturan dengan kepentingan buruh.

Hal tersebut diperparah lagi dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan buruh, seperti UU Cipta Kerja yang disahkan pada Oktober 2020. Undang-undang ini menurut beberapa kalangan dinilai menguntungkan pengusaha dan merugikan buruh. Hal yang dinilai berdampak pada kurangnya perlindungan kerja bagi buruh dan membuat pengusaha semakin mudah dalam melakukan tindakan yang merugikan buruh.

Dalam situasi yang kompleks ini, diperlukan pendekatan yang bijak dan adil dari semua pihak yang terlibat. Pemerintah sebagai regulator, diharapkan dapat memperhatikan kepentingan kedua belah pihak dan menyusun kebijakan yang dapat mengakomodasi kepentingan keduanya secara seimbang. Harus diingat buruh atau pekerja adalah aset. Sehingga pengusaha harus mempertimbangkan hak-hak dasar karyawan, termasuk hak perundingan dan perlindungan kerja, sebagai bagian dari tanggung jawab sosial perusahaan. Sementara, buruh juga perlu memahami kebutuhan pengusaha dalam meningkatkan produktivitas dan daya saing perusahaan, serta mempertimbangkan kondisi ekonomi dan bisnis yang sedang dihadapi perusahaan. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki situasi ini, salah satunya adalah dengan meningkatkan dialog dan negosiasi antara kedua belah pihak, serta menghindari tindakan unilateral yang dapat memperkeruh situasi.

Selain itu, pemerintah dapat membantu memperkuat peran serikat pekerja dan memberikan perlindungan yang lebih kuat bagi hak-hak pekerja, sehingga mereka dapat lebih merata dalam bernegosiasi dengan pengusaha. Pemerintah juga dapat meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran hak-hak pekerja, termasuk hak untuk mendapat upah yang layak dan kondisi kerja yang aman.

Peran media dan masyarakat sipil juga sangat penting dalam mengawal kebijakan dan aksi yang dilakukan oleh pemerintah dan kedua belah pihak. Dengan memberikan informasi yang akurat dan transparan serta mengkritisi tindakan yang merugikan salah satu pihak, maka media dan masyarakat sipil dapat memainkan peran penting dalam mendorong adanya penyelesaian yang adil bagi kedua belah pihak.

Dalam upaya memperbaiki situasi yang kompleks antara buruh dan pengusaha ini, diperlukan kesadaran dan tekad dari semua pihak untuk memperjuangkan hak dan kepentingan masing-masing secara seimbang dan bertanggung jawab. Dengan demikian, dapat diharapkan terwujudnya hubungan kerja yang lebih harmonis dan saling menguntungkan bagi kedua belah pihak, serta terciptanya kondisi yang kondusif bagi kemajuan perekonomian Indonesia secara keseluruhan.