Satpol PP DIY Sesalkan Penegakan Prokes di RT Terkendala Pakewuh Alias Sungkan

YOGYAKARTA - Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Daerah Istimewa Yogyakarta Noviar Rahmad menyesalkan upaya penegakan protokol kesehatan di tingkat RT/RW di provinsi ini masih terkendala rasa sungkan atau pakewuh.

"Terutama di level bawah tingkat RT untuk mengingatkan warganya itu kan agak sulit karena masih terbentur budaya 'ewuh-pakewuh' (tidak enak hati). Misalnya ada Pak RT mengingatkan warganya itu agak sulit, apalagi yang diingatkan itu tokoh," kata Noviar di Yogyakarta dikutip Antara, Senin, 2 Agustus.

Selama ini, Satpol PP DIY, kata dia, telah memberikan pendampingan bagi anggota "Jaga Warga" di level pedukuhan, salah satunya agar mampu menghilangkan budaya rasa sungkan atau pakewuh untuk menegakkan prokes sampai level RT/RW.

"Selama ini kami sudah melakukan pendampingan kepada Jaga Warga agar peran mereka betul-betul dioptimalkan dalam penegakan prokes di level bawah," kata dia.

Menurut dia, Jaga Warga merupakan kunci penegakan prokes hingga level bawah karena mereka yang mampu berdekatan langsung dengan masyarakat.

Meski demikian, menurut Noviar, jumlah Jaga Warga yang terdiri atas unsur tokoh masyarakat, tokoh pemuda, linmas, hingga pengurus RT/RW di DIY masih sedikit. Dari 4.667 pedukuhan di DIY, baru terbentuk di 1.224 pedukuhan.

Berdasarkan hasil penegakan selama perpanjangan PPKM Level 4, Noviar mengklaim tingkat penggunaan masker di DIY sudah mencapai 94 persen. Namun, persentase itu sebatas mengacu pemantauan di tempat atau fasilitas umum.

"Di tempat-tempat umum yang belum memakai masker paling satu atau dua orang. Tapi di lingkungan permukiman agak sulit mengontrolnya. Di perumahan-perumahan atau di perkampungan masih banyak yang tidak pakai masker," ujar Noviar.

Selain itu, kata dia, pelanggaran terkait jaga jarak serta memunculkan kerumunan juga masih tinggi, khususnya di rumah makan atau warung.

Menurut di Noviar, ada atau tidaknya kerumunan cukup menjadi tolok ukur pemenuhan prokes di rumah makan karena pembatasan makan di tempat selama 20 menit sulit dilakukan.

"Dalam penerapan kan susah mengawasi 20 menit. Makannya yang kami lihat itu ada kerumunan atau tidak," kata dia.

Beradasarkan hasil penegakan sejak 3 Juli hingga 1 Agustus 2021, Noviar mencatat sebanyak 814 tempat usaha ditutup, 1.059 tempat usaha yang dibubarkan karena membuat kerumunan, dan 45 tempat usaha disegel karena sudah diperingatkan namun kembali melakukan pelanggaran.