Kematian Aleksander Agung yang Penuh Teori
JAKARTA - Aleksander the Great (Aleksander yang Agung), seorang jenius militer muda asal Makedonia meninggal di Babilonia, Irak, pada usia yang terbilang muda yaitu 33 tahun. Aleksander merupakan raja di kerajaan yang membentang dari Mediterania timur hingga India.
Melansir History, Sabtu 13 Juni, Aleksander merupakan putra dari Raja Phillip II dan Ratu Olympia yang lahir di Makedonia. Aleksander menerima pendidikan dari filsuf terkenal Aristoteles dan mengenyam pendidikan militer langsung dengan ayahnya.
Pada usia 16 tahun, Aleksander memimpin pasukan pertamanya ke medan perang. Dua tahun kemudian, Aleksander memimpin sebagian besar pasukan ayahnya yang memenangkan Pertempuran Chaeronea dan membawa Yunani ke bawah kekuasaan Makedonia. Pada 336 sebelum masehi (SM), Phillip II dibunuh, dan Aleksander naik takhta.
Meskipun mengendalikan kekaisaran terbesar dalam sejarah dunia, Aleksander tetap melakukan invasi baru segera setelah kembali dari Persia. Aleksander juga berhasil menaklukkan Afghanistan, Asia Tengah, dan India utara pada 327 SM.
Pada tahun berikutnya, pasukannya kelelahan setelah pertempuran selama delapan tahun. Mereka menolak untuk pergi lebih jauh dan Aleksander memimpin mereka dalam perjalanan pulang yang sulit pulang melalui Gurun Makran.
Baca juga:
Kematian Aleksander dipenuhi berbagai teori
Ketika Aleksander Agung meninggal di Babilonia pada 13 Juni 323 SM, tubuhnya tidak menunjukkan tanda-tanda pembusukan selama enam hari. Hal tersebut diceritakan dalam sebuah catatan sejarah.
Bagi orang Yunani kuno, ini menegaskan apa yang mereka semua pikirkan tentang raja muda Makedonia tersebut. Aleksander kerap berpikir bahwa dia bukan manusia biasa, tetapi seorang dewa.
Di usia 33 tahun, Aleksander menaklukkan sebuah kerajaan yang membentang dari Balkan ke Pakistan modern. Selain itu, ia siap melakukan invasi lain. Namun sayang, ia jatuh sakit dan meninggal setelah 12 hari mengalami penderitaan yang luar biasa.
Sejak itu, para sejarawan memperdebatkan penyebab kematiannya, mulai dari malaria, tipus, keracunan alkohol hingga pembunuhan oleh salah satu pesaingnya.
Tetapi dalam teori lain, seorang sarjana dan dokter mengatakan bahwa Aleksander mungkin menderita gangguan neurologis Guillain-Barré Syndrome (GBS). Dia juga berpendapat bahwa orang mungkin tidak mendapati tanda-tanda pembusukan tubuhnya karena satu alasan sederhana, Aleksander belum mati saat itu.
Lewat artikelnya, seorang dosen senior dari Sekolah Kedokteran di Universitas Otago, Selandia Baru, bernama Katherine Hall memaparkan teorinya terkait kematian Aleksander Agung. Hall berpendapat bahwa GBS, gangguan autoimun yang jarang terjadi namun serius adalah suatu keadaan di mana sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat dalam sistem saraf. Kematian Aleksander akibat GBS adalah teori lebih masuk akal daripada teori lain.
Hall percaya Aleksander menderita GBS akibat terindeksi bakteri Campylobacter pylori, yang umum pada saat itu. Menurut Hall, Aleksander kemungkinan mendapat varian GBS yang mengakibatkan kelumpuhan hingga tidak menyadarkan diri. Lalu orang-orang mengira bahwa Aleksander saat itu sudah meninggal.
Dia juga berpendapat bahwa kelumpuhan Aleksander yang semakin parah serta fakta bahwa tubuhnya mendapatkan lebih sedikit oksigen saat tubuhnya tertutup, membuat embusan napasnya kurang terlihat. Pada zaman kuno dokter juga hanya mengandalkan pada ada atau tidak adanya napas, bukan denyut nadi untuk menentukan apakah seorang hidup atau mati. Hall yakin bahwa Aleksander dinyatakan mati sebelum ia benar-benar mati.
Dalam waktu satu tahun setelah kematian Aleksander, pasukannya dan kekaisarannya pecah menjadi banyak faksi yang bertikai. Jasad Aleksander lalu dikembalikan ke Aleksandria dan dibaringkan di peti mati emas.