Kriminalisasi Pengguna Ganja Medis Membawa Usangnya UU Narkotika Kembali ke Meja Diskusi
JAKARTA - Pemidanaan akibat penggunaan ganja medis berpotensi kembali terjadi. Dulu ada kasus Fidelis Arie. Sekarang giliran Reyndhart Rossy N Siahaan yang mengonsumsi ganja untuk penyakitnya sendiri.
Reyndhart, pria asal Jakarta yang melalangbuana ke Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk berbisnis ditangkap Kepolisian NTT karena menggunakan ganja di kosnya pada 17 November 2019, seperti dilansir Kompas. Kuasa Hukum Reyndhart, Herie CN mengatakan kliennya terpaksa mengonsumsi ganja untuk mengobati penyakit saraf tulang belakang yang dideritanya sejak 2015.
"Klien kami menderita sakit saraf tulang belakang sejak 2015 dan kembali kambuh pada 2018," kata Herie. Ia menuturkan, kliennya berusaha mencari cara untuk mengobati penyakitnya itu. Setelah menemukan informasi tentang pengobatan alternatif dengan meminum air rebusan ganja, Reyndhart memberanikan diri untuk mencobanya.
Ia mengaku kepada Herie ramuannya bisa mengurangi rasa sakit yang dideritanya. Namun, proses hukum tetap berjalan. Reyndhart dikenakan jerat Pasal 127 ayat 1 huruf a UU Narkotika Nomor 35 tahun 2009 dengan ancaman hukuman satu tahun penjara.
Masalah UU Narkotika
Koalisi Masyarakat Advokasi Penggunaan Narkotika untuk Kesehatan mendorong peradilan yang berkemanusiaan dalam kasus ini. Mereka mendorong Majelis Hakim membebaskan Reyndhart dari segala dakwaan. Sebab, ganja tersebut dimiliki dan digunakan untuk kepentingan medis.
"Koalisi mendorong Majelis Hakim agar mengedepankan keadilan dan kemanfaatan hukum. Sehingga sudah tepat dan sangat adil apabila Majelis Hakim bersedia untuk membebaskan Reyndhart Siahaan dari segala dakwaan," kata Juru Bicara Koalisi Ma'ruf Bajammal lewat siaran pers yang diterima VOI.
Dorongan yang sulit dibayangkan ketika UU 35/2009 nan bermasalah masih belum berubah. Namun, sebagai harapan, yang disampaikan Koalisi sejatinya amat masuk akal. Artinya, proses hukum harus berjalan sesuai keadilan. Kita tahu, UU 35/2009 banyak dipermasalahkan. Perspektif pengguna sebagai korban penyalahgunaan narkotika kerap luput dari proses peradilan.
Kami pernah membahas masalah UU ini lewat artikel "Asal Muasal UU Narkotika di Indonesia dan Segudang Masalah di Baliknya". UU ini mengandung banyak masalah. Selain usang, tak terpenuhinya perspektif pengguna sebagai korban penyalahgunaan kerap berimplikasi pada pemenjaraan pengguna. Begitu banyak orang yang masuk sebagai pengguna dan keluar sebagai pengedar.
"Sebab pengguna bukan kriminal dan mereka harus didukung bukan dikurung," kata Bajammal.
Koalisi yang terdiri dari LBH Masyarakat, Lingkar Ganja Nusantara (LGN), ICJR, Rumah Cemara, IJRS, EJA, Yakeba ini juga kembali mendesak pemerintah meninjau ulang kebijakan narkotika Indonesia. Kasus Reyndhart harus jadi momentum membuka mata.
Penelitian terhadap manfaat ganja harus dilakukan. Hal itu penting sebagai dasar mengubah UU 35/2009 yang lahir dari ratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1961. Bagi Koalisi, UU ini tak cuma usang, tapi juga melanggar hak pemenuhan kesehatan masyarakat.
Revisi UU
Pasal 8 ayat (1) UU 35/2009 memang melarang penggunaan narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan. Namun, Koalisi mengingatkan bahwa maksud asli dari UU Narkotika justru bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk pelayanan kesehatan.
Sebagaimana tertulis pada Pasal 4 huruf a UU Narkotika. Koalisi menilai bahwa tidak semestinya UU Narkotika melarang pemanfaatan narkotika untuk pelayanan kesehatan.
Lebih lanjut, Koalisi menegaskan bahwa kriminalisasi yang terjadi pada masyarakat seperti Reynhardt dan Fidelis bertentangan dengan tujuan utama keberadaan narkotika yang sejatinya adalah untuk kesehatan masyarakat Indonesia. Seperti termaktub dalam Pasal 28H ayat 1 UUD 1945, disebutkan bahwa hak atas pelayanan kesehatan sebagai hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi.
"Oleh karena itu, jelas bahwa pelarangan narkotika untuk narkotika golongan I untuk medis bertentangan dengan norma hak atas kesehatan. Belajar dari kasus Fidelis dan Reynhardt, sudah waktunya Indonesia membuka diri dan menyediakan kesempatan pemanfaatan narkotika golongan I guna pelayanan kesehatan," katanya.
Baca juga:
Pada 2017 lalu, kasus serupa menimpa Fidelis Arie. Ia adalah salah satu orang yang berhasil membuktikan bahwa ganja mengandung manfaat untuk kesehatan. Ia merawat istrinya, Yeni Riawati yang menderita penyakit sumsum tulang belakang (syringomyelia).
Berkat pengobatannya tersebut, istrinya berangsur-angsur mulai pulih. Namun upaya perawatan Yeni harus terputus sebab suami yang merawatnya, Fidelis, dibekuk BNN setelah ia ketahuan menanam ganja di rumahnya. Beberapa pekan setelah penangkapan Fidelis, 25 maret 2017, Yeni meninggal dunia.