Organisasi Profesi Kesehatan Bantah Ambil Keuntungan di Tengah Pagebluk COVID-19

JAKARTA - Sejumlah organisasi profesi kesehatan membantah tudingan mengambil keuntungan di tengah pagebluk COVID-19. Mereka mendukung pemerintah untuk mencegah dan mengendalikan penyebaran virus tersebut dan tak mengambil keuntungan apapun.

"Terkait dengan mengambil keuntungan di tengah COVID-19, organisasi profesi kesehatan menyatakan keberatan dengan berita tidak benar di media sosial tentang adanya tuduhan kepada tenaga kesehatan yang menganggap bahwa pelayanan kesehatan di tengah pandemi ini sebagai lahan bisnis," ungkap organisasi ini dalam keterangan tertulis dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Rabu, 10 Juni.

Adapun organisasi profesi kesehatan yang menyatakan sikapnya adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi), dan Persatuan Ahli Teknologi Laboratorium Kesehatan Indonesia (Patelki).

Kemudian Ikatan Fisioterapi Indonesia (IFI), RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, Satgas COVID-19 Unhas, Perkumpulan Ahli Bedah Orthopedi Indonesia (Paboi), Perhimpunan Dokter Spesialis Anastesiologi dan Terapi Intensif Indonesia (Perdatin), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) dan Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi).

Mereka menegaskan, tenaga kesehatan bekerja berdasarkan sumpah dan kode etik profesi masing-masing organisasi yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, kejujuran, dan profesionalisme.

"Semua berita tidak benar tersebut merupakan tindak sewenang-wenang terhadap tenaga kesehatan," tulis organisasi ini.

Selain itu, Organisasi kesehatan ini meminta pemerintah, TNI dan Polri untuk menjamin keamanan tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya, baik di fasilitas pelayanan kesehatan maupun di luar.  Mereka juga meminta semua pihak fokus pada usaha melawan penyebaran COVID-19 di Indonesia.

Sebelumnya, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memandang, besarnya biaya tes polymerase chain reaction (PCR) akan mengurungkan niat masyarakat bepergian. Ini membuat pendapatan ekonomi dari sektor transportasi jadi tak berjalan maksimal.

Oleh sebab itu, Budi menyebut, masyarakat yang akan melakukan perjalanan, baik lewat transportasi darat, laut, udara, dan kendaraan pribadi cukup melakukan rapid test sebagai syarat perjalanan.

"Kami enggak ingin syarat-syarat terlalu ketat, apalagi harga tes PCR mahal. Oleh karenanya, syarat perjalanan cukup rapid test saja, tak perlu PCR," kata Budi dalam telekonferensi bersama wartawan, Selasa, 9 Juni.

Biaya pemeriksaan COVID-19 lewat rapid test memang lebih murah. Rata-rata, per orang cukup mengeluarkan biaya sekitar Rp200 ribu hingga Rp500 ribu sekali pemeriksaan.

"Masyarakat yang boleh melampirkan syarat pemeriksaan rapid test hanya untuk perjalanan di dalam negeri. Sementara, perjalanan dari luar negeri tetap wajib melakukan tes PCR" tutur dia. 

Harga tersebut jauh berbeda dengan harga tes swab polymerase chain reaction (PCR) yang dilakukan secara mandiri. Untuk satu kali pengujian dengan metode ini, masyarakat harus merogoh kocek hingga Rp1 juta hingga Rp2 juta. Tentunya, biaya ini lebih mahal dibandingkan sejumlah harga tiket perjalanan itu sendiri.