Wacana Relaksasi PPKM Darurat Jangan Disalahartikan Keadaan COVID-19 Sudah Aman
JAKARTA - Presiden Joko Widodo menyebut ada kemungkinan pemerintah akan melakukan pelonggaran aturan PPKM Darurat pada tanggal 26 Juli jika kasus COVID-19 mulai turun.
Menjelaskan hal ini, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito, menyebut rencana pelonggaran pengetatan mobilitas seperti ini merupakan langkah gas dan rem dalam penanganan pandemi.
Sayangnya, berdasarkan pengalaman menghadapi pandemi selama satu setengah tahun ini, keputusan relaksasi sering tidak diikuti dengan sarana prasarana fasilitas pelayanan kesehatan dan pengawasan protokol kesehatan yang ideal.
"Relaksasi juga disalahartikan sebagai keadaan aman sehingga protokol kesehatan dilupakan dan penularan kembali terjadi di masyarakat dan menyebabkan kasus kembali meningkat," kata Wiku dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden, Selasa, 20 Juli.
Mari mengingat ke belakang. Indonesia sudah melaksanakan tiga kali pengetatan dan relaksasi. PPKM darurat yang berlaku saat ini menjadi pengetatan yang keempat.
Mulai dari PSBB sampai PPKM, mekanisme pengetatan rata-rata dilakukan selama 4 sampai 8 Minggu, dengan efek melandainya kasus atau bahkan dapat menurun. Namun, saat relaksasi selama 13 sampai dengan 20 Minggu, kasus kembali meningkat hingga 14 kali lipat.
"Berkaca dari pengetatan dan relaksasi, ternyata langkah relaksasi yang tidak tepat dan tidak didukung oleh seluruh lapisan masyarakat dengan baik dapat memicu kenaikan kasus yang lebih tinggi," ungkap Wiku.
Karenanya, pengalaman naik turunnya kasus selama ini perlu menjadi refleksi penting pada pengetatan PPKM Darurat yang saat ini dilakukan.
Kabar baiknya, pengetatan yang telah berjalan selama dua minggu ini sudah terlihat hasilnya seperti mulai menurunnya keterisian tempat tidur isolasi dan ICU RS di provinsi di pulau Jawa Bali serta mobilitas penduduk yang menunjukan penurunan.
Sayangnya, kasus masih mengalami peningkatan hingga dua kali lipat dengan jumlah kasus aktif 542.938 atau naik 18,65 persen.
"Tentunya kenaikan ini tidak terlepas dari fakta bahwa variant of concern atau berbagai varian COVID-19 saat ini telah masuk ke Indonesia. Khususnya varian Delta yang telah mencapai 661 kasus di Pulau Jawa-Bali," tutur dia.
Baca juga:
- Dilaporkan ke Polisi Usai Tembakan Laser 'Berani Jujur Pecat' ke Gedung KPK, Greenpeace Indonesia Bingung
- Satgas Klarifikasi Sebab Menurunnya Jumlah Spesimen COVID-19 di Akhir Pekan
- Batal ke Amerika, Sandiaga Uno ‘Delegasikan’ Tugas Negara ke Anaknya di AS, Kok Bisa?
- Tanpa Perlawanan, DPO Korupsi APBD Sungai Penuh Rp1,2 Miliar Yusuf Sagoro Diciduk Tim Tabur Kejari
Dengan tingginya kasus saat ini, kata Wiku, pemerintah berusaha maksimal dalam melakukan pengetatan dengan membatasi mobilitas. Meningkatkan kapasitas rumah sakit, menyediakan obat-obatan dan alat Kesehatan.
Namun, upaya-upaya ini tidak akan cukup dan pengetatan tidak bisa dilakukan secara terus-menerus karena membutuhkan sumber daya yang sangat besar dengan risiko korban jiwa yang terlalu tinggi serta berdampak secara ekonomi.
Karenanya, wacana pelonggaran PPKM Darurat dimunculkan. "Tentunya, pada suatu titik kita harus kembali melakukan relaksasi," ucapnya.
Oleh sebab itu, Wiku menekankan keputusan relaksasi pembatasan dapat berhasil dan efektif jika semua pihak melakukan dua hal. Pertama, keputusan tersebut dipersiapkan dengan matang dan ada komitmen dalam melaksanakan kebijakan atau kesepakatan dari seluruh unsur pemerintah dan masyarakat.
"Kedua hal ini menjadi kunci terlaksananya relaksasi yang efektif dan aman, serta tidak memicu kasus kembali melonjak. Cara ini adalah cara yang paling murah dan mudah, dan dapat terus dijalankan dengan berbagai penyesuaian pada kegiatan masyarakat," pungkasnya